97 Tahun Sumpah Pemuda, Lidah dak punya Alamat Tetap

97 Tahun Sumpah Pemuda, Lidah dak punya Alamat Tetap
Foto: 97 Tahun Sumpah Pemuda, Lidah dak punya Alamat Tetap

Ado nian lucu nasib lidah manusia ni, kawan. Kadang lidah tu lebih cepat menyesuaikan diri daripada otak, apalagi hati. Aku ni contohnyo. Lahir dari rahim Mandailing, tapi suara yang keluar malah cenderung Melayu Medan, ado jugo sikit aroma Jawa. Suku Batak, tapi logatnyo malah macam orang abis makan pempek, lembut tapi pedas di ujung. Kata orang, identitas bahasa tu menandakan akar budaya. Tapi aku ni malah rasa macam bonsai, tumbuh di banyak pot, tergantung di mano ditanam. Waktu kuliah di Aceh, lidah ni ikut-ikutan logat sana. Waktu kerja di Palembang, malah lembut nian ikut nyanyian cakap wong kito. Tapi aneh jugo, tinggal lama di tanah Mandailing, bahasa sendiri malah dak nyantol-nyantol di lidah. Bahasa daerah tu entah ke mano, ilang macam duit receh. Betul jugo pepatah: “Yang jauh disayang, yang dekat dilupakan.”

Bahasa, kata Ferdinand de Saussure, adalah sistem tanda yang hidup karena kebiasaan. Nah, kebiasaanlah yang jadi biang keladi di sini. Di Aceh, aku terbiasa mendengar seruan peugah dan leuh, di Palembang terbiasa dengan apo dan dak. Tapi di Mandailing? Aku malah lebih sering mendengar bahasa Indonesia di ruang kerja, warung kopi, bahkan di rumah tinggalku di sana. Padahal sehari-hari bahasa Batak Mandailing sangat kental diperbincangkan. Akibatnya, bahasa daerahku sendiri serasa tamu tak diundang yang malu-malu masuk ke lidah. Setiap kali orang bilang ida roha do au (Yang kau lihat itulah hatiku), aku cuma senyum-senyum sopan sambil mikir, itu pujian apa teguran, ya? Mungkin lidahku ini punya setting otomatis: deteksi bahasa aktif tergantung siapa yang ngajak ngobrol. Sayang, setting Bahasa Batak belum pernah ke-update. Dulu kupikir bahasa daerah itu otomatis tumbuh karena keturunan, ternyata butuh juga pemupukan lewat interaksi. Kalau enggak, lidah bisa jadi gersang, kehilangan rasa, seperti nasi tanpa sambal, nendang tapi hambar.

Lucunya, semakin sering aku berpindah daerah, semakin sadar aku bahwa lidah manusia itu oportunis sejati. Ia akan ikut siapa yang paling sering dia dengar. Bahasa Melayu Palembang yang lembut itu menempel karena tiap hari kupakai bercakap dengan kawan warung kopi dan tempat kos yang baik hati. Bahasa Aceh menempel karena dulu dosenku dan teman-teman kuliah serta masyarakatnya pakai Bahasa Aceh Thatt, terlalu sering kudengar jadi hafal intonasinya. Tapi Bahasa Mandailing? Ah, jangankan dipakai, mendengarnya saja jarang. Seolah bahasa ibuku sendiri berubah jadi bahasa asing. Ironis, tapi begitulah: kadang yang paling dekat justru terasa paling jauh. Bahasa Mandailing, yang harusnya warisan genetis, malah mental total. Aku jadi sadar, bahasa itu bukan cuma diwariskan, tapi juga dirawat. Kalau enggak, ia bisa ngambek, minggat diam-diam. Seperti pacar lama yang disia-siakan, tahu-tahu sudah bahagia dengan orang lain.

Sekarang aku tinggal di tanah Simalungun, bumi yang tiap sudutnya punya cerita dan nada. Bahasa Bataknya gagah, tapi bagiku masih seperti puzzle yang hilang separuh. Di rumah, aku dan istriku yang asli Musi Sekayu itu lebih nyaman pakai bahasa Indonesia. Anak-anakku pun tumbuh fasih berbahasa nasional tapi asing dengan akar logat orang tuanya. Kadang aku heran, apakah mereka akan tahu bahwa bahasa itu bukan cuma alat bicara, tapi juga wadah sejarah dan emosi? Bahasa do jala roha, roha do jala habisuhon (Bahasa itu dari hati, hati itu yang menyambungkan manusia). Tapi saiki, zaman wis beda, bahasa daerah kalah cepat karo emoji lan stiker WhatsApp. Aku kadang ngajari anak ngomong Palembang logat Musi Sekayu, tapi malah dijawab, “Yah, ngomong kayak YouTuber lucu itu, ya?” Ha ha, heboh tenan! Sekarang aku tinggal di tanah Simalungun, bumi yang tiap sudutnya punya cerita dan nada. Mungkin benar kata filsuf Ludwig Wittgenstein, The limits of my language mean the limits of my world. (Dunia mereka bisa jadi lebih luas, tapi akarnya menipis.)

Sampai sekarang, lon (aku) masih coba jaga dua bahasa daerah yang pernah lon kuasai supaya hana (tidak) hilang. Kadang lon telepon kawan lama di Plembang, ngobrol pakai logat wong kito, atau becanda dengan saboh (seorang) sahabat di Aceh lewat voice note. Lon percaya, bahasa yang terus dipakai hana akan matee, cuma akan tuha (menua) bersama kenangan. Kadang lon sengaja peugah (bicara) Aceh dikit-dikit, biar lidah ni hana kaku. Bahasa tu sama macam otot, kalau hana digerakkan, bisa keuh-keuh (kram). Lucu nyan (itu), karena sering campur-campur, logat lon jadi macam versi beta, antara Melayu, Batak, dan Jawa, dengan aksen nasionalis. Lam (dalam) hati lon pikir, kalau ada lomba bahasa paling bingung, lon pasti juaranya. Tapi nyan hana apa-apa, karena lon serasa pengembara bahasa, bawa ransel isi logat, aksen, dan kata-kata dari tiap tanah yang pernah lon pijak. Waktu semua bercampur, jadilah logat baru: campur aduk, tapi unik, dan hana bisa diidentifikasi oleh sensus linguistik manapun.

Tapi beginilah indahnya Indonesia di umur 97 Tahun Sumpah Pemuda ni, bah. Bahasa sekarang bukan lagi jadi dinding, tapi jadi jembatan yang nyambungkan hati. Walau lidahku menari dalam banyak irama, semangatku tetap satu, cinta sama keberagaman yang buat kite tumbuh. Aku mungkin gagal jadi penutur Mandailing sejati, tapi aku bangga jugo bisa jadi saksi hidup bahwa bahasa tu bisa nyatuin lebih dari sekadar kata. Di dalamnyo ado perjalanan, tawa, dan bingungnya manusia nyari jati diri. Macam kata Noam Chomsky, Language is a mirror of mind (bahasa tu cermin pikiran). Kalau lidahku bercermin hari ni, yang kulihat itu peta kecil Indonesia, berwarna, lucu, hidup. Dulu pemuda bersumpah satu bahasa untuk bersatu, sekarang aku bersumpah satu lidah untuk tak hilang tawa. Sebab dari semua bahasa yang kutahu, bahasa humor lah yang paling menyatukan. Dan dari semua suara yang pernah kudengar, tak ado yang lebih merdu daripada suara tawa waktu orang sadar: walau logat kite beda-beda, banggonyo tetap satu, Indonesia.

Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa-bahasa daerah, seperti batang yang berakar pada tanahnya sendiri.
(Mr. Muhammad Yamin)

Horas Hubanta Haganupan.
Horas … Horas … Horas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *