JadiKabar.com – Ada yang bilang, semua bisnis besar lahir dari ide gila dan dapur yang berantakan. Begitulah kisah Mie Aceh Seulawah, yang bermula bukan dari seminar bisnis atau pelatihan wirausaha, melainkan dari rasa kangen seorang dosen terhadap kampung halamannya. Tahun 1996, di tengah hiruk pikuk Jakarta, Hj. Ratna Dwikora, perempuan Aceh yang biasa mengajar mahasiswa dengan pointer dan papan tulis, tiba-tiba mengganti kapur tulisnya dengan sendok kayu. “Daripada ngomel di kelas, mending ngulek bumbu,” ujarnya santai suatu kali, dan jadilah sejarah baru di dunia kuliner Tanah Air.
Dengan modal hanya Rp 4 juta, yang kalau sekarang mungkin cuma cukup untuk beli satu set panci stainless dan segelas kopi kekinian, Ratna dan suaminya, Heru Setyanto Nugroho, membuka warung kecil di kawasan Bendungan Hilir (Benhil). Lokasinya sederhana, tapi aromanya luar biasa, gabungan kari, cabai, dan harapan yang mengepul di udara Jakarta. Di situ, mereka tak sekadar menjual mie, tapi menjual kenangan rasa Aceh yang penuh rempah dan cerita.
Inspirasi sejatinya datang dari sang ibu tercinta, Hj. Fatimah, jago masak dari Pidie, Aceh, yang bumbunya terkenal berani dan berkarakter. Sebagian rempah didatangkan langsung dari Aceh, bukan karena gaya, tapi karena lidah Aceh tak mau ditipu. “Kalau bumbu kari buatan Jakarta, rasanya suka malu-malu,” kelakar Ratna sambil menambahkan cabai. Mie Aceh Seulawah pun lahir sebagai wujud cinta seorang anak pada ibunya, seorang Aceh pada tanah kelahirannya, dan seorang dosen pada kreativitas yang tak bisa diam di kelas.
Dalam waktu singkat, aroma mie Seulawah menembus batas Benhil, menembus perut, lalu menembus hati pelanggan. Dari pejabat, seniman, sampai mahasiswa ngekost yang belum gajian, semua jadi korban kenikmatannya. Ratna tak pernah menyangka, bisnis yang berawal dari rindu bisa tumbuh menjadi ikon kuliner nasional. “Awalnya cuma ingin makan mie yang beneran Aceh,” katanya, “eh, malah orang Jakarta yang ikut jatuh cinta.”
Di balik kesuksesannya, tersimpan semangat sederhana tapi kuat: membawa nama Aceh ke meja makan Indonesia. Ratna ingin membuktikan bahwa kuliner bukan sekadar urusan perut, tapi juga cara mengenalkan budaya dan kebanggaan daerah. Seperti kata Buya Hamka, “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Tapi kalau hidup untuk bermakna, itulah yang membedakan manusia.” Hj. Ratna memilih hidup bermakna, dengan wajan, rempah, dan keberanian untuk bermimpi lewat semangkuk mie.
Kini, Mie Aceh Seulawah tak hanya jadi tempat makan, tapi juga jadi simbol rasa dan perjuangan: bahwa dari dapur kecil pun, mimpi bisa mendunia, asal dimasak dengan niat yang besar, bumbu yang tulus, dan sedikit humor agar tak gosong di tengah perjalanan. Karena dalam hidup, seperti dalam memasak, yang penting bukan seberapa cepat matang, tapi seberapa lama rasanya bisa diingat.
Kalau banyak orang pergi merantau untuk cari rezeki, maka Hj. Ratna Dwikora pergi merantau sambil membawa satu hal paling berharga dari Aceh: bumbu dapur. Ya, bukan emas, bukan kain songket, tapi sekantung rempah yang nanti akan mengguncang lidah Jakarta. Ia tak datang sebagai juru selamat ekonomi, tapi sebagai juru selamat cita rasa, dan di situlah awal mula misi kulinernya: memperkenalkan identitas Aceh lewat mie yang berani bicara pedas.
Bagi Ratna, membuka Mie Aceh Seulawah bukan sekadar bisnis, tapi bentuk nostalgia yang bertransformasi jadi diplomasi rasa. Ia ingin Jakarta tahu bahwa Aceh bukan cuma tentang sejarah dan tsunami, tapi juga tentang mie yang bisa membuat keringat mengalir seperti perjuangan hidup. “Kalau orang Jepang bangga dengan sushi, orang Thailand dengan tom yum, kenapa orang Aceh nggak boleh bangga dengan mie Aceh?” katanya sambil tertawa, mungkin setelah mencicipi kuah pedas yang bisa bikin kepala sedikit berfilsafat.
Waktu itu, di ibu kota belum banyak warung Aceh yang punya identitas kuat. Rasa Aceh di Jakarta seperti radio dengan sinyal lemah, kadang kedengaran, kadang hilang di tengah bisingnya kota. Di situlah Ratna melihat peluang: menyajikan rasa Aceh dengan kualitas hotel bintang tiga, tapi dengan keramahan warung pojokan. Ia tak mau Mie Aceh cuma jadi varian di menu mie instan; ia ingin orang datang bukan karena lapar, tapi karena rindu, pada aroma kari, pada rempah, pada suasana Aceh yang hidup di setiap suapan.
Keunikan Mie Aceh Seulawah ada pada kejujurannya: bumbunya jujur, pedasnya jujur, bahkan harga dan pelayanannya pun jujur. “Saya ingin orang makan dan berkata: ini rasa Aceh yang sesungguhnya, bukan Aceh yang disesuaikan dengan lidah kota,” ujar Ratna dengan senyum khas ibu-ibu yang tahu bahwa kunci sukses bisnis adalah cabe, cinta, dan konsistensi. Ia percaya, menjaga keaslian rasa adalah bentuk menjaga identitas bangsa. Seperti kata Gus Dur, “Kebudayaan yang hidup adalah kebudayaan yang berani tampil apa adanya.” Maka Mie Aceh Seulawah pun tampil, apa adanya, pedasnya, dan luar biasanya.
Tapi ambisi Ratna tak berhenti di meja makan Benhil. Ia bermimpi agar kuliner Aceh menjadi bagian dari ekonomi kreatif nasional, bahkan menembus pasar dunia. Ia ingin dunia tahu bahwa Indonesia bukan cuma soal rendang atau sate, tapi juga tentang mie pedas yang bisa menghangatkan hati siapa pun yang mencobanya. Dari sinilah Mie Aceh Seulawah berubah dari sekadar warung menjadi simbol perjuangan kuliner lokal untuk naik kelas.
Kini, setelah puluhan tahun, Ratna masih setia menjaga rasa, seolah setiap piring mie adalah surat cinta untuk Aceh. Ia telah membuktikan satu hal: bahwa promosi budaya tak harus lewat seminar atau naskah tebal, cukup lewat semangkuk mie yang dimasak dengan hati dan disajikan dengan senyum. Dan mungkin benar kata Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai cita rasanya sendiri.” Kalau begitu, lewat Mie Aceh Seulawah, Ratna Dwikora sudah lebih dari sekadar pengusaha; ia duta cita rasa yang berhasil membuat Indonesia, bahkan dunia, mencicipi kehangatan Aceh lewat kepulan uap di atas piring.
Setelah lebih dari dua dekade membuat orang Jakarta berkeringat bahagia di meja makan, Hj. Ratna Dwikora belum mau berhenti mengaduk wajan mimpi. Kalau dulu Mie Aceh Seulawah lahir dari dapur kecil di Benhil, kini Ratna sedang menatap peta Indonesia, bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk misi ekspansi rasa. “Kalau aroma kari bisa sampai ke hati orang Jakarta, kenapa nggak ke Bali, Papua, atau Sulawesi?” ujarnya dengan semangat yang bisa menyaingi panas kompor warungnya.
Ratna bermimpi membuka cabang di timur Indonesia, karena menurutnya, pedasnya Aceh dan panasnya matahari Papua adalah pasangan serasi yang belum berjodoh. Ia ingin setiap orang di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, tahu bagaimana rasanya mie Aceh yang dimasak dengan cinta, bukan sekadar air mendidih. “Saya ingin mie Aceh dikenal dari pantai Kuta sampai Teluk Cenderawasih. Biar kalau turis asing tanya: apa itu Indonesia? Jawabannya: pedas, kaya, dan ramah, kayak mie Aceh Seulawah!” katanya sambil terkekeh.
Namun, di tengah mimpi besar itu, Ratna tetap punya prinsip sederhana: rasa tak boleh berubah, meski cabang bertambah. Ia menolak pakai pengawet, perasa buatan, atau bumbu instan. Baginya, keaslian rasa adalah jiwa yang tak bisa dijual murah. “Kita boleh modern, tapi jangan lupa wajan tradisional,” katanya bijak. Kalimat ini layak dicetak di apron setiap karyawan. Ia tahu bahwa mempertahankan kualitas di tengah ekspansi bukan perkara mudah, tapi kalau hidup saja bisa dijalani dengan sabar, kenapa pedas mie Aceh tidak bisa dijaga dengan konsisten?
Lebih jauh, Ratna tak ingin Mie Aceh Seulawah berhenti di meja makan semata. Ia ingin mengangkatnya menjadi ikon kuliner nasional dan bagian dari ekonomi kreatif Indonesia. Baginya, mie Aceh bukan hanya soal rasa, tapi tentang cerita, sejarah, dan jati diri. Ia bermimpi suatu hari nanti, ketika Indonesia tampil di festival kuliner dunia, di antara sushi, pizza, dan pad thai, akan berdiri satu tenda dengan tulisan besar: Mie Aceh Seulawah, The True Taste of Indonesia’s North.
Visi Ratna sederhana tapi mendalam, membawa Aceh ke dunia lewat aroma kari yang menenangkan dan rasa pedas yang membangunkan semangat. Ia percaya bahwa kuliner bisa jadi jembatan budaya dan diplomasi yang lebih ampuh daripada pidato formal. Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.” Maka Ratna menambahkan dalam hatinya: “…dan di atas wajan sendiri.”
Kini, Mie Aceh Seulawah tak lagi sekadar restoran, melainkan sebuah perjalanan rasa dan kebanggaan. Dari rempah yang ditumbuk dengan tangan hingga cita-cita yang ditulis dengan hati, semua mengarah ke satu tujuan: membuat dunia tahu bahwa pedas dari Aceh tak hanya menggugah lidah, tapi juga menghangatkan jiwa. Karena bagi Hj. Ratna Dwikora, selama masih ada kompor yang menyala, mimpi tak boleh padam.
Kak Ratna tak pernah mengejar ketenaran, tapi ketulusanlah yang membuat namanya harum di dunia kuliner. Ia tidak punya slogan mewah atau juru bicara mahal; yang ia punya hanyalah keyakinan bahwa setiap piring mie bisa jadi cerita tentang perjuangan, budaya, dan cinta tanah air. Ia adalah bukti nyata bahwa nasionalisme tak harus selalu berbentuk bendera, kadang bisa berupa semangkuk mie pedas yang disajikan dengan senyum hangat.
Mie Aceh Seulawah mengajarkan satu hal penting: bahwa melestarikan budaya tak harus melalui museum atau seminar, cukup lewat rasa yang jujur dan pengalaman yang membekas. Seperti kata Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati.” Tapi tampaknya, kalau mie Aceh Seulawah yang dimaksud, sekali berarti, minta tambah lagi!
Kini, setiap kali uap panas mie Aceh mengepul dari dapur Benhil, seolah ada pesan lembut dari Ratna untuk generasi muda: jangan takut bermimpi, jangan malu jadi berbeda, dan jangan lupa akar budaya sendiri. Sebab dari tangan yang berani menggenggam wajan, lahir keberanian untuk mengubah takdir. Dari perempuan yang mencintai rempah, lahir aroma perjuangan yang tak lekang oleh waktu.
Dan kalau suatu hari nanti, dunia mengenal Indonesia bukan hanya lewat Bali atau batik, tapi juga lewat Mie Aceh Seulawah, maka di situlah cita-cita Hj. Ratna Dwikora benar-benar matang, disajikan dengan cinta, diseruput dengan bangga, dan dinikmati dengan rasa hormat pada budaya yang tak pernah kehilangan nyalanya.
Mie Aceh Seulawah nyan hana cuma mie, tapi kisah peureulèe rasa, adat, ngon semangat aneuk Aceh.
(Hidangan Mie Aceh Seulawah itu bukan sekadar mie, tapi kisah yang meramu rasa, budaya, dan semangat orang Aceh.) Hj. Ratna Dwikora
Horas Hubanta Haganupan.
Horas… Horas… Horas












