Jadikabar.com – Ada satu momen yang sering luput dari gegap gempita ambisi manusia modern: makan malam bersama keluarga. Di tanah Nordik, di mana salju turun seperti undangan Tuhan untuk merenung dan cahaya matahari hanya muncul secukupnya seperti gaji pegawai tanggal tua, orang-orang Skandinavia punya ritual sederhana: duduk bersama sebelum gelap benar-benar menelan hari. Tak ada sorakan drama Korea, tak ada denting notifikasi grup RT, hanya suara sendok, cerita polos, dan candaan ringan sehangat sup salmon. Sementara di tempat lain, jam makan malam adalah kompetisi siapa paling cepat menuntaskan sisa pekerjaan sambil menonton komentar netizen, di sini mereka merawat keseharian dengan kesederhanaan. Seperti kata Kierkegaard, “Hidup hanya bisa dipahami ke belakang, tapi dijalani ke depan”—dan makan malam adalah jeda kecil memahami jejak langkah hari ini sebelum terus berjalan.
Saya pernah berpikir kebiasaan itu kuno, seperti memaksa anak baca koran di era TikTok, atau meminta remaja menatap wajah orang tua lebih lama daripada layar ponsel. Tapi begitu saya pelajari bahwa duduk di meja makan keluarga, ini bukan soal makan. Ini tentang hadir. Tentang menertawakan hal-hal remeh—seperti bujab tentang betapa kikuk mengupas udang—dan mendengar bocah tujuh tahun bercerita dengan antusias bagaimana ia menggambar Viking berkumis miring hari itu. Ada ruang untuk gagal, ruang untuk tertawa, ruang untuk dibenarkan. Kita sering lupa, kasih sayang tidak harus berbentuk motivasi raksasa; kadang berupa tatapan mata yang berkata, “Tenang, kamu tak sendirian menghadapi dunia.”
Di Skandinavia, orang tua tidak mengejar kehebatan instan. Mereka tak panik jika anak belum hapal tabel perkalian, selama anak tahu cara mengatakan “maaf,” “tolong,” dan “aku butuh bantuan.” Itu terdengar sederhana, tapi betapa jarang kita mengajarkannya di ruang makan tanah tropis yang sering berubah jadi ruang sidang: “Nilaimu kok segini? Temanmu bisa, kamu kenapa tidak?” Padahal Aristoteles pernah mengingatkan, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali.” Maka jika tiap malam kita melatih tegang, bukan hangat, jangan heran anak tumbuh seperti modem: menyala, tetapi tak terhubung.
Ada keindahan dalam ritme makan bersama itu. Tidak tergesa, tidak heroik, seperti musik jazz: mengalir, selingan tawa, percakapan patah-sambung yang justru memelihara jiwa. Anak belajar regulasi emosi lebih efektif dari sup hangat dan dialog sabar ketimbang dari teori psikologi rumit. Kita, manusia dewasa yang kadang lupa dewasa, sering berlindung di balik “sibuk” padahal hanya terjebak pada drama ego dan kejar target. Di sana, makan malam jadi semacam spa bagi batin: murah, efektif, dan tanpa perlu reservasi. Dan tentu saja, tanpa drama rebutan remote TV—karena remote sudah lama kehilangan tahta jika hati saling terhubung.
Ketika suatu kejadian seorang ayah, lelah sehabis kerja, duduk, tidak mengeluh. Ia hanya bilang, “Hari ini berat, tapi aku baik-baik saja.” Sang anak mengangguk, pura-pura dewasa. Di meja itu, emosi tidak disembunyikan seperti keuangan yang lagi sulit; diolah dan diceritakan dengan lembut. Anak belajar bahwa rapuh itu bukan aib. Bahwa cerita patah tidak harus berujung muram. Bukankah Viktor Frankl pernah berkata, “Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri sendiri”? Nah, makan malam jadi laboratorium perubahan—pelan, tetapi nyata.
Pelajaran apa yang bisa di dapat dari cerita Skandinavia bukan dari koper berisi cokelat dan magnet kulkas: keluarga tidak butuh kemewahan untuk menjadi hangat. Kadang yang dibutuhkan hanya lampu kuning redup, nasi yang tak harus sempurna, dan tangan yang tidak sibuk menggulir layar. Di negara kita, debat soal menu lebih panas daripada obrolan soal mimpi anak; kita sibuk memoles masa depan tapi lupa membangun fondasi rasa aman. Kita belikan les, buku, bahkan robot belajar, tapi lupa memberi telinga untuk mendengar celoteh polos yang justru bahan bakar kepercayaan diri.
Maka, barangkali kita bisa mulai pelan-pelan. Tidak perlu meniru Skandinavia sampai bikin rumah dari kayu pinus dan mengirim anak les ski. Cukup letakkan ponsel, panggil keluarga ke meja, dan mulai dengan pertanyaan sederhana: “Hari ini ada cerita lucu apa?” Anak mungkin bingung di awal, kita pun kikuk seperti membaca buku puisi setelah lama berkutat dengan laporan keuangan. Tapi tenang, kebiasaan tumbuh seperti akar: diam, sabar, lalu kuat. Kata Dalai Lama, “Kebahagiaan tidak siap-saiji; ia datang dari tindakan kita sendiri.” Dan makan malam bersama keluarga, seaneh kedengarannya di era multitasking, mungkin salah satu tindakan paling waras untuk membesarkan anak yang tahan banting namun tetap lembut.
Anak berkembang paling sehat ketika ia merasa aman secara emosional dan Hubungan manusia yang stabil dan penuh perhatian adalah kunci perkembangan anak – John Bowlby
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas
AN












