Jadikabar.com – Pernah dengar istilah barang antik mahal karena bersejarah? Nah, coba datang ke Simalungun, tepatnya di Dolok Ilir. Di sana ada PLTA Bah Bolon — pembangkit listrik yang sudah pensiun dini sejak 2020. Dulu, mesin-mesinnya berdengung gagah, memutar turbin demi terang benderangnya perkebunan Belanda. Sekarang? Yang berdengung cuma suara jangkrik dan kenangan masa kolonial. Kalau PLTA ini bisa bicara, mungkin ia akan bilang, “Dulu aku memberi energi, sekarang aku cuma butuh perhatian.”
PLTA Bah Bolon ini dibangun pada tahun 1922, zaman ketika kopi masih diseduh pakai bara api dan surat cinta dikirim pakai sepeda. Pembangkit ini bukan cuma pahlawan listrik, tapi juga penjaga irigasi kebun di sekitarnya. Sayang, banjir tahun 2020 bikin dinamo-nya tumbang, dan bukannya diperbaiki, malah seperti dibiarkan “beristirahat abadi.” Katanya, beberapa komponen juga hilang—entah dibawa air, entah dibawa manusia yang terlalu “kreatif.”
Sekarang, bangunannya masih gagah berdiri, tapi sepi seperti bioskop tua. Banyak warga bilang, “Sayang kali, seandainya jadi wisata sejarah, ramai tuh selfie di depan turbin Belanda.” Benar juga. Di zaman orang foto nasi goreng aja bisa viral, masa PLTA bersejarah dibiarkan berdebu? Kalau Belanda dulu bisa membangun pembangkit megah di tengah hutan, masa kita cuma bisa membangun wacana?
Padahal, di balik karatnya, PLTA Bah Bolon punya pesona. Dinding tuanya seperti bercerita tentang masa ketika tenaga air adalah raja, bukan hanya nama minuman energi. Pemerintah seharusnya meliriknya, bukan cuma ketika ada laporan kerusakan, tapi juga ketika ada peluang wisata. Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Nah, PLTA Bah Bolon ini salah satu pahlawan listrik yang dilupakan.
Mungkin sudah saatnya pemerintah bikin gerakan “Hidupkan Lagi Bah Bolon”, biar sejarah tak terus mati suri. Bayangkan, kalau disulap jadi wisata edukasi, anak-anak bisa belajar tentang energi sambil main air — bukan main gawai terus. Bahkan, bisa jadi spot syuting drama sejarah berjudul Cinta di Tengah Turbin. Siapa tahu, listrik cinta kembali menyala.
Pada akhirnya, PLTA Bah Bolon bukan sekadar cerita usang. Ia adalah cermin kita: megah di masa lalu, tapi kurang perawatan di masa kini. Kalau kita terus membiarkan sejarah berkarat, jangan heran kalau masa depan ikut padam. Jadi, sebelum lampu inspirasi benar-benar padam, yuk kita hidupkan lagi Bah Bolon — biar terang bukan cuma di rumah, tapi juga di hati yang mencintai negeri ini.












