Putus Cinta? Perusahaan di China Beri Cuti 10 Hari untuk Pulihkan Suasana Hati

Putus Cinta? Perusahaan di China Beri Cuti 10 Hari untuk Pulihkan Suasana Hati
Foto Ilustrator Istimewa: Putus Cinta? Perusahaan di China Beri Cuti 10 Hari untuk Pulihkan Suasana Hati

Beijing – Tidak semua luka bisa disembuhkan di meja kerja. Inilah yang disadari oleh Pang Dong Lai, perusahaan ritel asal Provinsi Henan, Tiongkok, yang baru saja menggegerkan dunia kerja dengan kebijakan unik, memberi cuti hingga 10 hari bagi karyawan yang merasa “tidak bahagia” termasuk karena putus cinta atau tekanan emosional lainnya.

Pendiri sekaligus CEO perusahaan, Yu Donglai, mengatakan bahwa setiap orang berhak mengambil jeda ketika sedang tidak baik-baik saja.

“Semua orang punya momen ketika mereka tidak bahagia. Jika kamu sedang tidak bahagia, jangan datang ke kantor,” ujarnya seperti dikutip media lokal.

Kebijakan ini bukan sekadar formalitas. Dalam aturan resmi perusahaan, permintaan cuti “unhappy leave” tidak boleh ditolak oleh atasan. Jika ditolak, hal itu dianggap sebagai pelanggaran kebijakan perusahaan.

Tiongkok selama ini dikenal dengan budaya kerja ekstrem, salah satunya sistem “996” bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam selama 6 hari dalam seminggu. Banyak pekerja muda di sana mulai menolak pola kerja itu karena dinilai merusak kesehatan mental dan kehidupan pribadi.

Di tengah tren tersebut, Pang Dong Lai tampil sebagai anomali. Perusahaan ini bahkan memberi hak kerja yang manusiawi hanya lima hari kerja per minggu dan tujuh jam per hari, disertai 30 hingga 40 hari cuti tahunan, di luar cuti tambahan bagi karyawan yang sedang “bad mood”.

Bagi Yu Donglai, keberhasilan perusahaan tidak hanya diukur dari angka penjualan, tapi dari kebahagiaan karyawannya. “Perusahaan yang baik bukan hanya yang menghasilkan keuntungan, tapi juga tempat orang ingin kembali bekerja setiap hari,” tegasnya.

Pakar psikologi kerja menilai kebijakan ini sebagai langkah progresif. Dr. Li Wen dari Beijing University menyebutkan, banyak karyawan berjuang dengan stres emosional yang menurunkan produktivitas, tapi jarang berani mengakuinya.

“Memberi ruang untuk pulih dari kehilangan, kegagalan, atau tekanan pribadi adalah bentuk empati yang bisa meningkatkan loyalitas dan kreativitas,” jelas Li.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa cuti emosional tidak akan efektif jika budaya perusahaan tetap menekan atau menstigma pekerja yang “tidak kuat”. Artinya, kebijakan ini harus dibarengi perubahan cara pandang: bahwa karyawan adalah manusia, bukan mesin.

Kebijakan “unhappy leave” mencerminkan perubahan nilai dalam dunia kerja modern: keseimbangan hidup kini lebih penting daripada sekadar jam kerja panjang.

Di media sosial Tiongkok, topik ini viral. Banyak warganet memuji langkah berani Pang Dong Lai, menyebutnya sebagai “perusahaan dengan hati”. Ada pula yang berharap model ini menular ke sektor lain, termasuk teknologi dan keuangan yang terkenal dengan tekanan tinggi.

Menariknya, kebijakan serupa mulai dibahas di sejumlah perusahaan Asia lain. Di Jepang, beberapa startup memberi “heartbreak leave” selama 3 hari bagi karyawan yang baru putus cinta. Di Korea Selatan, ada cuti khusus untuk mengatasi kelelahan digital.

Bagi Indonesia, kebijakan ini mungkin terdengar eksperimental. Namun, pesannya jelas kesehatan mental bukan urusan pribadi semata, tapi juga tanggung jawab institusi tempat bekerja.

Di tengah meningkatnya kasus burnout dan stres kerja pasca-pandemi, ide cuti emosional bisa menjadi inspirasi. Perusahaan bisa menyesuaikan dengan konteks lokal, bukan soal jumlah hari, tapi soal pengakuan bahwa manusia berhak istirahat dari tekanan batin.

Langkah Pang Dong Lai menegaskan bahwa dunia kerja sedang bergeser. Karyawan bukan sekadar tenaga produktif, melainkan manusia yang punya ritme hati. Karena pada akhirnya, perusahaan yang besar bukan yang memeras waktu, tetapi yang mampu memberi ruang bagi manusia untuk pulih, lalu kembali dengan semangat baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *