JadiKabar.com – Setiap kali kamu menyalakan kompor untuk menggoreng tempe, sesungguhnya kamu sedang berpartisipasi dalam geopolitik global—karena minyak goreng yang mendesis itu bisa jadi berasal dari kebun sawit di Nagan Raya atau Aceh Barat. Bayangkan, dari setiap tiga sendok minyak goreng di dunia, satu berasal dari Indonesia. Begitu pentingnya kelapa sawit ( Elaeis Guineensis Jacq = African Oil Palm ) dalam kehidupan kita: dari dapur rumah tangga sampai botol kosmetik di meja rias. Tapi ironisnya, dunia barat yang gemar makan kentang goreng justru menuduh sawit sebagai biang pemanasan global. Sawit bukan musuh bumi, tapi korban salah paham global, kata Dr. Rahmadsyah. Menurut teori pertanian berkelanjutan, tanaman hanya seburuk cara manusia mengelolanya. Jadi kalau sawit punya akun media sosial, mungkin caption-nya berbunyi: Disalahpahami, tapi tetap dibutuhkan.
Sejarah kelapa sawit di Indonesia itu lebih tua dari kenanganmu dengan mantan—bedanya, sawit masih terus berbuah, sementara kenangan cuma berdebu. Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara Negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848,dibawa dari Mauritius Amsterdam oleh seorang warga Belanda. Dulu, Belanda membawa bibit sawit sekadar untuk hiasan taman di Kebun Raya Bogor, mungkin biar tampak eksotis di depan tamu kolonial. Siapa sangka, dari tanaman pajangan itu lahir industri bernilai miliaran dolar yang kini menafkahi jutaan orang dan menyumbang devisa negara. Namun, seperti kata Prof. Bustanul Arifin, Nilai sawit kita besar, tapi nilai manusianya belum seimbang. Banyak petani kecil masih hidup pas-pasan, seperti pekerja VIP tanpa fasilitas. Dalam teori pembangunan pertanian berkeadilan, hasil bumi seharusnya menetes ke semua lapisan, bukan cuma mengalir deras ke dompet para konglomerat yang jarang turun ke kebun tapi rajin ke seminar.
Kelapa sawit sering disebut tanaman demokratis oleh Prof. Bungaran Saragih — siapa pun boleh menanamnya, dari konglomerat berkantor di Jakarta sampai petani kampung yang masih menjemur biji di teras rumah. Tapi, demokrasi sawit ini kadang seperti pilkada: ramai di awal, tapi sepi di pertanggungjawaban. Di panggung global, Eropa menekan ekspor sawit kita dengan alasan lingkungan, padahal mereka sendiri sibuk menanam rapeseed yang butuh lahan empat kali lebih luas. Kata Dr. Rahmadsyah, Isu lingkungan kadang cuma topeng perdagangan. Teori pertanian inklusif mengingatkan, sawit bukan cuma tanaman ekonomi, tapi tanaman sosial yang seharusnya menumbuhkan kesejahteraan bersama. Kalau sawit bisa bicara, mungkin dia akan bilang, Aku hijau, tapi sering disalahpahami — seperti cinta jarak jauh.
Eropa sering menuduh sawit sebagai biang deforestasi ( kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar ), seolah-olah tiap batang sawit membawa korek api di sakunya. Padahal, menurut Dr. T. Rizal, Sawit dituduh membakar hutan, padahal justru menjadi sumber energi hijau dunia. Ironi yang harum minyak goreng. Kalau sawit dilarang, mereka justru menanam bunga matahari yanzxg butuh lahan empat kali lebih luas—benar-benar diet lahan yang gagal total. Dalam teori efisiensi pertanian tropis, sawit adalah tanaman paling produktif di planet ini, menghasilkan minyak lebih banyak per hektare daripada kedelai yang manja dan rapeseed yang boros. Jadi, kalau dunia ingin adil, mungkin perlu seminar etika botani internasional, dengan moderator seekor orangutan—biar alam yang bicara, bukan politisi yang sekadar pamer moral di atas panggung hijau buatan.
Nasib petani sawit rakyat sering kali seperti sinetron panjang tanpa jeda iklan: penuh drama harga TBS ( Tandan Buah Segar) turun naik, sulitnya akses modal, dan ketergantungan abadi pada pabrik besar yang bertindak seperti sutradara tunggal. Masalah sawit bukan pada tanamannya, tapi pada manajemennya, tegas Dr. Aswin Nasution. Dalam teori keadilan distributif John Rawls, kesejahteraan sejati harus berpihak pada yang paling lemah — dalam hal ini, petani plasma yang setia merawat pohon tapi jarang menikmati hasilnya. Ironis, sawit bisa jadi pahlawan ekonomi tapi juga tersangka lingkungan. Padahal, kalau logika pertanian sehat tumbuh, sawit bisa hijau dua kali: hijau daunnya, hijau dompet petaninya. Kadang, yang perlu ditanam bukan cuma bibit, tapi juga kesadaran sosial yang subur.
Aspek hukum dalam industri sawit sering kali lebih dramatis dari sinetron prime time: penuh intrik izin lahan, konflik hak ulayat, dan sertifikasi ISPO (Sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (The Indonesian Sustainable Palm Oil Certification ) yang kadang lebih ribet dari urusan lamaran kerja. Ada perusahaan yang sudah patuh, tapi tetap disalahkan; ada pula yang melanggar, tapi tetap tersenyum di foto penghargaan—mungkin karena punya pupuk sosial yang kuat. Menurut Dr. Rina Safitri, Hukum sawit harus meniru prinsip pertanian: yang ditanam harus dirawat. Dalam teori good governance, regulasi tak cukup ditulis indah di atas kertas; ia harus disiram dengan integritas dan diairi oleh transparansi. Kalau tidak, hukum sawit ibarat kebun yang tak disiangi: penuh gulma kepentingan, harum janji, tapi panennya nihil.
Peran sains dan teknologi berperan aktif untuk turunannya dari biofuel berbasis sawit (green diesel) hingga limbah tandan kosong yang diubah menjadi energi atau pupuk organik. Di sisi lain, sawit juga pusat inovasi. Dari limbah cair jadi biogas, dari tandan kosong jadi pupuk, bahkan kulit sawit bisa jadi bahan kosmetik. Sawit adalah laboratorium ekonomi hijau yang hidup. Bayangkan, dari kebun di pedalaman Kalimantan sana, bisa muncul sabun ramah lingkungan di rak supermarket Tokyo. Sawit kita ternyata bukan hanya soal minyak goreng — tapi juga masa depan energi, kecantikan, dan sains yang berkelanjutan. Hebat, bukan
Kepemimpinan di sektor sawit itu ibarat jadi dirigen orkestra: semua pemain hebat, tapi kalau tak seirama, hasilnya cuma bising. Pemerintah bicara keberlanjutan, pengusaha mengejar cuan, petani menunggu harga naik—semuanya logis, tapi sering tak sinkron. Dalam konteks ini, teori transformational leadership jadi relevan: pemimpin harus mampu menginspirasi, bukan sekadar mengatur. Seperti kata Prof. Bungaran Saragih, Pemimpin sawit sejati bukan hanya menanam kebun, tapi juga menanam keadilan. Kalau kebijakan dibuat dengan nurani dan visi agraria seimbang, maka sawit tak hanya jadi sumber devisa, tapi juga sumber kesejahteraan. Karena sejatinya, pemimpin sawit yang hebat bukan yang pandai berpidato di forum, tapi yang tahu kapan harus turun ke kebun dan mendengar suara petani.
Desa sawit kini seperti remaja baru naik kelas: makin modis, tapi kadang bingung arah. Jalan-jalan sudah mulus, sinyal 5G masuk, dan warung kopi berubah jadi coworking space dadakan. Tapi di balik gemerlap itu, muncul gaya hidup baru yang membuat kontem kreator menyebutnya modernisasi setengah matang. Anak muda sawit lebih sibuk bikin konten review TBS segar ketimbang belajar agronomi. Ironis tapi lucu — sawit jadi sumber rezeki dan inspirasi konten sekaligus. Di Aceh dan Riau, budaya gotong royong mulai bertransformasi jadi gotong profit. Sawit bukan cuma tanaman industri, tapi tanaman sosial. Artinya, sawit bukan sekadar mengubah ekonomi desa, tapi juga pola pikir warganya — dari cangkul ke kamera, dari ladang ke layar.
Masa depan sawit itu bukan sekadar soal minyak goreng, tapi soal minyak nurani. Indonesia harus berani jadi pionir sustainable palm oil (standar mutu yang berisikan prinsip-prinsip dan kriteria pengelolaan bisnis kelapa sawit berkelanjutan ), bukan cuma karena tekanan Eropa, tapi karena sadar bahwa bumi juga butuh istirahat. Kampus yang mengajarkan ilmu pertanian kini jadi laboratorium masa depan — tempat ilmuwan muda menanam gagasan hijau sambil menyeruput kopi di sela riset. Sawit berkelanjutan itu bukan teori, tapi komitmen yang tumbuh dari etika. Dalam teori pertanian berkelanjutan, tanaman tumbuh bukan hanya dari tanah, tapi dari nilai yang menanamnya. Jadi, kalau sawit dirawat dengan ilmu, kejujuran, dan sedikit humor akademik, mungkin dunia akhirnya percaya: sawit kita bukan masalah, tapi solusi yang berakar kuat dan berdaun hijau harapan.
Pada akhirnya, kelapa sawit adalah kisah cinta yang rumit antara manusia dan alam—penuh drama, tapi tetap layak diperjuangkan. Ia bukan sekadar pohon penghasil devisa, tapi juga simbol perjuangan antara kesejahteraan dan keberlanjutan. Kelapa sawit adalah cermin manusia: penuh potensi, tapi juga penuh tanggung jawab, begitu refleksi Dr. Aswin Nasution, pakar pertanian yang selalu menulis dengan hati dan logika yang seimbang. Ia menutup dengan kalimat yang layak ditanam di setiap kebun: Kalau kita serakah, sawit murka; tapi kalau kita bijak, ia makmurkan. Jadi, saat kamu menuang minyak goreng ke wajan, ingatlah—di balik desisnya ada doa petani, kerja ilmuwan, dan cinta ekologis yang terus berjuang agar bumi tetap harum, bukan hangus.
Perkebunan sawit rakyat masih memiliki potensi peningkatan produksi yang signifikan melalui perbaikan cara pengelolaan tanpa memerlukan perubahan teknologi”. ¬ Prof. Jamhari
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












