Revisi KUHAP Disahkan, Mengapa Banyak Pihak Menilai Aturan Ini Mundur dari Reformasi Hukum?

Avatar photo
Revisi KUHAP Disahkan, Mengapa Banyak Pihak Menilai Aturan Ini Mundur dari Reformasi Hukum?
Foto AI: Revisi KUHAP Disahkan, Mengapa Banyak Pihak Menilai Aturan Ini Mundur dari Reformasi Hukum?

Jakarta, JadiKabar.com – DPR RI resmi mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang (UU) pada November 2025, meskipun kontroversi dan penolakan dari banyak kalangan masyarakat sipil terus bergema. Meski pemerintah dan legislatif menyatakan sejumlah perubahan bersifat progresif, kritikus menyoroti beberapa poin yang dianggap membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum.

  • Undang-Undang KUHAP yang lama berlaku sejak tahun 1981 dan sejak awal dikritik karena beberapa praktik proses peradilan yang bisa menyalahgunakan hak tersangka atau terdakwa. NewsRoom.id+1

  • Revisi dianggap perlu seiring dengan perubahan kriminalitas, perkembangan teknologi, dan munculnya KUHP baru yang mulai berlaku pada 2026, sehingga KUHAP perlu disesuaikan sebagai dasar prosedural penegakan pidana. Dream.co.id

  • Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa KUHAP baru akan memperkuat hak asasi manusia, memperluas objek praperadilan, dan menegakkan keadilan restoratif (restorative justice). NewsRoom.id

Sejumlah organisasi advokasi dan koalisi masyarakat sipil secara tegas menolak sebagian substansi RUU KUHAP yang disahkan. Berikut kritik utama yang disampaikan:

  1. Penyalahgunaan Wewenang Aparat

    • Ada kekhawatiran bahwa mekanisme penyidikan dan upaya paksa (seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan) masih bisa dilakukan oleh penyidik tanpa pengawasan hakim yang memadai. Koalisi menyebut bahwa pengecualian “kondisi mendesak” memberi terlalu banyak ruang bagi aparat untuk bertindak sepihak. NU Online+2NU Online+2

    • Menurut ICJR, pengaturan tersebut melemahkan kontrol pengadilan (judicial scrutiny) atas tindakan aparat, membuka celah pelanggaran hak sipil. NU Online

  2. Keterbatasan Hak Praperadilan

    • Koalisi masyarakat sipil mencatat bahwa revisi KUHAP dapat membatasi objek praperadilan, artinya hak tersangka untuk mengajukan praperadilan atas tindakan aparat (seperti penangkapan atau penyitaan) dapat dipangkas. NewsRoom.id+1

    • Hal ini dinilai mengurangi kontrol publik dan transparansi dalam proses hukum pidana.

  3. Penyadapan dan Penggeledahan Tanpa Izin Pengadilan

    • Dalam draf RUU, aparat bisa melakukan penyadapan atau penggeledahan berdasarkan pertimbangan penyidik dalam kondisi mendesak, tanpa persetujuan hakim terlebih dahulu. CNA.id: Berita Indonesia, Asia dan Dunia

    • Menurut praktisi HAM, ini berpotensi menjadi pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan, karena kriteria “mendesak” didefinisikan secara luas dan subjektif oleh penyidik. NU Online+1

  4. Proses Legislasi yang Dinilai Terburu-buru

    • Koalisi menyatakan bahwa DPR terkesan memproses RUU ini dengan cepat. Sebagian pihak menilai pembahasan belum cukup mendalam untuk semua pasal — sedangkan RUU KUHAP memuat banyak pasal (sekitar 334 pasal dan ayat penjelasan sangat banyak) menurut koalisi. suara.com

    • Ada tudingan minimnya partisipasi publik yang berarti dalam perumusan draf. Beberapa aktivis mengklaim bahwa input mereka sebagai warga sipil tidak sepenuhnya diakomodasi. LBH MASYARAKAT

  5. Risiko Merusak Kebebasan Sipil

    • Menurut kritik, UU baru ini bisa digunakan untuk menekan kebebasan masyarakat, karena wewenang aparat dalam penyidikan dan penyadapan bisa lebih luas tanpa kontrol cukup. NU Online

    • Ada kekhawatiran bahwa reforma KUHAP yang harusnya memperkuat perlindungan HAM, justru membuka celah represif karena kurangnya pengawasan lembaga peradilan atas tindakan polisi.

  • DPR (Komisi III) mengklaim bahwa 99,9% masukan masyarakat sipil telah diperhitungkan dalam draf versi akhir. detikcom

  • Menkum (Menteri Hukum) Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa tanggapan penolakan adalah biasa, dan UU KUHAP baru justru memperkuat perlindungan HAM serta sistem praperadilan. NewsRoom.id+1

  • Menurut DPR dan pemerintah, kontrol dan persetujuan hakim tetap berlaku dalam banyak situasi, walaupun ada pengecualian khusus ketika keadaan dianggap “mendesak.” CNA.id: Berita Indonesia, Asia dan Dunia

  • Banyak aktivis hukum dan hak asasi khawatir bahwa meskipun ada elemen “restorative justice” dalam UU baru, tata cara penegakan hukum masih bisa disalahgunakan oleh aparat.

  • Mereka menilai bahwa revisi KUHAP seharusnya memperkuat pengawasan pengadilan terhadap penyidikan, bukan justru melemahkannya.

  • Keterbukaan proses perumusan dianggap kurang: masyarakat sipil menuntut transparansi dan keterlibatan yang lebih bermakna dalam pembahasan pasal-pasal yang sensitif.

  • Ada kekhawatiran bahwa UU ini bisa menjadi instrumen otoriter jika aparat bisa melakukan tindakan paksa tanpa kontrol yang ketat.

Pengesahan RUU KUHAP menjadi UU menandai tonggak reformasi hukum penting, terutama karena menyunting hukum pidana lama (1981) agar lebih modern dan sesuai KUHP baru. Namun, penolakan masyarakat sipil menyoroti risiko besar, khususnya dalam hal kontrol kekuasaan aparat dan perlindungan hak asasi.

Jika kritik-kritik ini tidak ditangani secara serius  terutama aspek pengawasan hakim atas tindakan aparat  UU ini berpotensi menjadi pedang bermata dua, memperkuat HAM di atas kertas, tetapi melemahkan kebebasan sipil dalam praktik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *