JadiKabar.com – Sejarah pers Indonesia tidak dimulai dengan printer laser, tetapi dengan tekad setebal kopi hitam pekat yang diseruput seorang bangsawan Jawa bernama Tirto Adhi Soerjo. Pada 1 Januari 1907, lahirlah Medan Prijaji, bukan sekadar surat kabar, tapi semacam espresso nasionalisme yang menyentak kesadaran rakyat pribumi di tengah era kolonial. Bahasa Melayu dipilih, bukan karena sedang tren, tapi karena itu bahasa dengan jangkauan pasar terbesar di Hindia. Para ahli publisistik sering bilang media harus menggunakan bahasa publiknya—Tirto sudah melakukan itu ketika internet saja belum punya rencana lahir. Pakar publisistik nasional, Prof. Ahmad S. Wicaksana, menyebut Medan Prijaji sebagai contoh klasik media yang tahu siapa audiensnya sebelum audiens itu tahu siapa dirinya sendiri. Mantap, seperti kopi robusta tanpa gula.
Sebelum korannya terbit, Tirto bersama dua rekannya tidak main-main: mereka mendirikan badan hukum NV Naamloze Vennootschap pada tahun 1904. Ini bukan perusahaan abal-abal yang menjual janji palsu, melainkan NV pribumi pertama yang bergerak di dunia pers. Modalnya 75.000 gulden, jumlah yang kalau disandingkan dengan harga bakso saat itu, mungkin setara dengan membeli lima alam semesta kecil. Dengan modal itu, percetakan berdiri, kantor dibuka, saham dibagikan, dan semangat melawan kolonial mengalir seperti kafein yang baru turun dari mesin espresso. Prof. Wicaksana menambahkan, Inovasi media selalu dimulai dari keberanian finansial. Dengan kata lain: kalau mau melawan penjajah, jangan lupa laporan keuangan.
Medan Prijaji tidak sekadar koran; ia adalah surat kabar dengan attitude. Moto pertamanya saja sudah seperti orasi mahasiswa dengan aroma kolonial: keras, berani, dan sedikit centil. Tirto menuliskan moto yang kurang-lebih berarti: ini suara untuk bangsawan asli, saudagar pribumi, dan semua rakyat yang haknya diinjak sepatu Belanda. Ibarat poster motivasi yang ditempel di kantor redaksi, tapi versi 1907. Jika saat ini tagline media sering berbunyi cerdas dan terpercaya, Medan Prijaji memilih jalur ekstrem: berani dan bikin pemerintah kolonial sakit kepala. Menurut pakar publisistik Dr. Novianda Pratiwi, moto itu adalah praktik awal advocacy journalism: Media yang tidak hanya melaporkan fakta, tetapi menggerakkan publik. Dalam industri, itu semacam kopi tubruk yang tidak hanya membangunkan, tapi juga melecut jantung.
Konten Medan Prijaji tidak pernah ragu mengambil risiko. Mereka menulis, mengkritik, bahkan menggigit kebijakan kolonial dengan tajam. Tirto seolah membawa pena yang ujungnya direndam dalam sambal setan level 300. Setiap edisi bisa memuat laporan rakyat ditindas, pejabat korup, sampai kisah-kisah penyalahgunaan wewenang. Dan pembaca menyukainya bukan karena sensasi, tetapi karena akhirnya ada media yang berani menyuarakan yang seharusnya. Kata Dr. Pratiwi: Media kuat bukan karena loud, tapi karena jelas. Medan Prijaji jelas sekali bahkan terlalu jelas bagi Belanda. Ini koran yang membuat sensor kolonial gelisah, seperti penumpang kereta melihat tukang permen masuk tiga kali.
Pada masa itu, Tirto menjalankan bisnis medianya dengan seni manajemen unik: pelanggan wajib membayar dulu di muka selama kuartal, setengah tahun, atau setahun. Strategi ini kemudian dikenal oleh mahasiswa komunikasi modern sebagai model bisnis berlangganan jauh sebelum Netflix lahir. Bahkan mereka punya investor: Bupati Cianjur dan Sultan Bacan menyumbang modal. Investor zaman dulu beda tipis dengan investor startup: melihat visi, bukan presentasi PowerPoint. Prof. Wicaksana menyebut, Tirto mempraktikkan teori publisistik: media harus independen secara ekonomi supaya berani secara editorial.” Artinya, kalau mau berkata jujur, jangan sering-sering hutang.
Redaksinya pun multibakat. Ada Tirto di pucuk redaksi, dibantu para redaktur Bandung, Bogor, hingga kontributor dari Belanda. Ini seperti newsroom internasional versi Hindia Belanda: tanpa internet, tanpa email, tapi tetap solid. Ada jurnalis Tionghoa, ada jurnalis pribumi, semua bahu-membahu menulis cerita rakyat tertindas dengan gaya investigatif yang tidak main-main. Jika hari ini media punya rubrik opini, politik, lifestyle, Medan Prijaji punya rubrik favorit rakyat: surat dan jawaban hukum gratis. Bayangkan, koran sekaligus LBH. Kata Dr. Pratiwi, Di sini terlihat bahwa jurnalisme advokasi bukan teori, tapi tradisi Indonesia. Tradisi yang harum seperti aroma kopi hitam yang selalu muncul saat deadline.
Popularitasnya meledak. Tahun 1910, Medan Prijaji menjadi surat kabar harian, dengan 2.000 pelanggan angka fantastis untuk masa itu. Ibarat akun TikTok yang tiba-tiba viral, koran ini menjadi rujukan rakyat di seluruh Jawa. Mereka menunggu edisi baru seperti menunggu gaji cair. Kolonial mulai merasa gelisah. Di bawah judulnya bahkan tercantum moto baru: tembok suara bangsa terperintah super berani. Prof. Ahmad menyebutnya puncak keberanian media kolonial-era yang tidak mungkin dilakukan media korporat modern. Koran ini seperti barista yang sengaja bikin kopi terlalu pahit biar pelanggan sadar bahwa kehidupan memang keras, tetapi harus dihadapi.
Namun, keberanian adalah magnet masalah. Skandal besar terjadi ketika Tirto menulis soal kolusi pejabat Purworejo menyebut pejabat itu “monyet penetek.” Kata-kata yang masuk kategori pedas, menggigit, dan membuat pemerintah kolonial tersedak roti gandum. Warga desa mendukung Tirto, bahkan siap membela jika dia didenda. Sayang, setelah jabatan gubernur jenderal berubah, kedekatan Tirto dengan Van Heutz tidak lagi menolongnya. Ia dihukum buang ke Lampung. Dr. Pratiwi menilai ini contoh klasik bagaimana kekuasaan menghukum media yang terlalu jujur. Dalam teori media modern, itu disebut government backlash, dalam bahasa warung kopi: kalau terlalu vokal, siap-siap kena semprot.
Meski dihukum, pengaruh Tirto tidak padam. Medan Prijaji justru semakin dilirik pers Belanda dan tokoh politik Eropa. Nama-nama besar seperti Henri van Kol dan Van Deventer jadi kenalan. Di saat yang sama, Medan Prijaji aktif membantu ratusan rakyat yang terjerat kasus hukum. Ini bukan sekadar media; ini lembaga advokasi sebelum istilah advokasi masuk KBBI. Prof. Ahmad menyimpulkan: Medan Prijaji membuktikan bahwa media bisa menjadi alat perubahan, bukan hanya alat informasi. Dalam bahasa kopi hitam: ini bukan minuman, ini tamparan kafein untuk membangunkan bangsa.
Sayangnya, tak ada perjuangan yang bebas biaya. Masalah finansial mulai muncul. Iklan berkurang karena pemerintah kolonial ikut mengatur. Saham melemah. Kas tipis. Ini fase ketika sejarah pers terasa seperti sinetron jam prime time: dramatis, penuh konflik, dan membuat pembaca ingin melempar sandal ke layar TV. H.M. Arsad masih membantu, tetapi lubang keuangan lebih cepat daripada bantuan datang. Dr. Pratiwi menyebut, Media advokasi sering kalah bukan oleh musuh politik, tetapi oleh manajemen finansial. Dalam bahasa sederhana: idealisme kuat, tapi kas redaksi lebih rapuh dari gelas beling.
Belum selesai, Tirto kembali dituntut setelah mengkritik Bupati Rembang mengenai nepotisme. Ia dihukum buang ke Ambon selama enam bulan. Bayangkan, wartawan dibuang hanya karena menulis fakta pedas. Jika itu terjadi hari ini, mungkin trending nomor satu. Namun pada 1911, itu adalah takdir jurnalis berani. Setelah kembali, ia harus menghadapi kreditornya karena Medan Prijaji bangkrut. Pisau hukum, tekanan finansial, dan kolonialisme melingkari Tirto seperti kabut tebal. Dr. Pratiwi menyebutnya:“akhir tragis dari media yang terlalu jauh mendahului zamannya.
Pada 22 Agustus 1912, Medan Prijaji resmi tutup. Tapi warisannya? Tetap seperti kopi hitam tanpa gula pahit, kuat, dan membangunkan kesadaran. Koran ini adalah pelopor jurnalisme advokasi, guru besar tak resmi bagi pers pergerakan, dan bukti bahwa tulisan bisa lebih tajam dari pedang. Tirto mungkin dipailitkan, dipenjara, dibuang, tapi gagasannya hidup hingga hari ini dalam DNA jurnalisme Indonesia. Prof. Ahmad menutup dengan kalimat yang layak dicetak tebal: Medan Prijaji adalah koran yang mati muda tetapi melahirkan bangsa. Dan seperti kopi hitam pekat, warisannya meninggalkan aftertaste panjang yang tak mudah hilang aftertaste perjuangan.
Pers harus menjadi lampu pelita bangsa. Bila ia redup, masyarakat berjalan dalam gelap; bila ia terang, rakyat tahu jalan pulang. – Wahidin Sudirohusodo.
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












