Bencana Alam Sumbagut, Keserakahan Manusia, dan Pelajaran dari Belanda.

Avatar photo

JadiKabar.com – Bencana banjir dan longsor yang berulang di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) tidak dapat dianggap sekadar fenomena alam musiman, melainkan hasil hubungan manusia–lingkungan yang semakin timpang. Ekspansi lahan tanpa kendali, pembalakan hutan, hingga pembangunan di daerah rawan hanyalah cerminan dari paradigma ambil sebanyak mungkin tanpa memikirkan daya dukung ekologis. Ketika keseimbangan ini rusak, alam menjawab dengan cara paling rasional: mengembalikan ketidakseimbangan itu dalam bentuk bencana. Dalam perspektif ilmiah, bencana bukan sekadar gejala geologis, melainkan *produk sosial* dari keputusan manusia.

Dari perspektif sosiologi hukum, akar masalahnya adalah jarak yang lebar antara hukum tertulis dan realitas sosial. Aturan lingkungan seperti UU No. 32/2009 seolah tidak mampu menahan laju eksploitasi. Pakar sosiologi hukum Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan: Hukum tidak hidup dalam buku, tetapi dalam masyarakat. Ketika hukum tidak dihayati, maka ia kehilangan daya kontrolnya. Penegakan yang lemah, kompromi kepentingan, serta budaya permisif terhadap pelanggaran membuat hukum lingkungan mandul, dan kerusakan alam menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Sementara itu, dari sudut sosiologi masyarakat, keserakahan terhadap alam tidak hanya lahir dari elit ekonomi, tetapi juga budaya sosial yang terbentuk oleh kebutuhan jangka pendek. Membuka lahan secara ilegal, membuang sampah ke sungai, mendirikan rumah di bantaran air, semua dianggap normal. Struktur sosial yang tertekan ekonomi membuat masyarakat cenderung mengabaikan risiko ekologis. Di sinilah fungsi kontrol komunitas—yang seharusnya menegur, mengingatkan, dan menjaga ruang hidup bersama—hancur digerogoti kepentingan pragmatis.

Pada tataran kebijakan publik, persoalan menjadi semakin kompleks. Keputusan tata ruang sering mengikuti arus investasi, bukan prinsip keberlanjutan ekologis. Pengawasan sekadar administratif menyebabkan alih fungsi lahan terjadi tanpa kajian matang. Kebijakan yang semestinya mengutamakan mitigasi risiko malah terjebak pada penanganan pascabencana yang mahal dan tidak efisien. Pakar kebijakan publik Budi Winarno mengingatkan bahwa: Kegagalan kebijakan sering lahir bukan dari kurangnya aturan, tetapi dari ketidakmampuan melihat masa depan. Inilah potret yang terlihat jelas dalam tata kelola lingkungan Sumbagut.

Untuk keluar dari siklus bencana, Sumbagut dapat belajar dari Belanda—negara kecil yang justru sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut, namun mampu menjadikan air sebagai sahabat. Belanda tidak menaklukkan air, tetapi menatanya melalui hukum yang kuat, kepatuhan sosial, dan manajemen jangka panjang. Tokoh tata kelola air dunia, Henk Ovink, menegaskan: Water is a system, not a sector. It should guide every policy decision.( Air adalah sebuah sistem, bukan sektor. Air seharusnya menjadi panduan dalam setiap keputusan kebijakan ) Prinsip ini membuat pengelolaan air bukan sekadar urusan teknis, tetapi keputusan yang mempengaruhi seluruh tata kelola ruang.

Model Belanda seperti Room for the River ( Ruang untuk air ) mengajarkan bahwa sungai harus diberi ruang, bukan disempitkan; sempadan harus dirawat, bukan dibangun; resapan harus diperluas, bukan diisi beton. Mereka mengintegrasikan rekayasa teknik, budaya masyarakat, dan kepatuhan hukum dalam satu ekosistem kebijakan. Sementara itu, Sumbagut justru menutup ruang air dengan bangunan, mempersempit sungai, dan menebangi hutan di hulu. Kebijakan yang reaktif membuat bencana terus berulang. Belajar dari Belanda berarti merombak paradigma: dari melawan air, menjadi hidup berdampingan dengannya.

Dengan menggabungkan analisis sosiologi hukum, sosiologi masyarakat, dan kebijakan publik, terlihat bahwa bencana Sumbagut adalah produk dari tiga kegagalan: kegagalan hukum yang tidak dihormati, kegagalan budaya yang mengabaikan ekologi, dan kegagalan kebijakan yang buta visi. Sementara Belanda menunjukkan bahwa tata kelola air hanya akan berhasil jika hukum ditegakkan, masyarakat terlibat, dan kebijakan dirancang untuk generasi mendatang. Jika pelajaran ini diterapkan, Sumbagut dapat melangkah menuju pembangunan yang tidak sekadar menghindari bencana, tetapi memulihkan kembali harmoni antara manusia dan alam.

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *