Ganti Rugi

Avatar photo

JadiKabar.com – Ketika Bencana Datang, Akal Sehat Ikut Evakuasi
( Cerita dari Swalayan di Sibolga )

Ganti rugi sering dianggap sebagai urusan birokrasi yang bikin orang menghela napas panjang seperti habis naik tangga seratus anak tangga. Padahal, dalam konteks bencana, ganti rugi bukan cuma soal angka, tapi juga soal akal sehat dan rasa kemanusiaan. Kita semua paham bahwa penjarahan itu tidak dibenarkan. Ibarat ngambil mangga tetangga, tetap saja salah meskipun mangga itu kelihatan matang-matang memanggil. Namun manusia dalam keadaan genting memang bisa berubah dari makhluk berlogika menjadi makhluk yang perutnya memegang kendali. Dan ketika bencana datang tanpa undangan, semua teori moral mendadak ikut mengungsi entah ke mana.

Penjarahan memang mirip pencurian—beda tipis seperti bakso sapi dan bakso yang rasa sapi. Bedanya, penjarahan sering terjadi ketika situasi kacau balau, listrik mati, sinyal hilang, dan semua orang lebih sibuk mencari air minum ketimbang mengingat pasal dalam KUHP. Pada titik itu, sebagian masyarakat hanya berpikir satu hal: bertahan hidup. Ini bukan pembenaran, tetapi kenyataan sosial yang terjadi berulang kali. Ketika perut mulai memberikan alarm darurat, logika pun kalah cepat dari rasa lapar. Pemerintah biasanya hadir belakangan dengan mobil bantuan, sementara naluri manusia sudah berlari duluan mencari makanan di toko-toko.

Lalu bagaimana nasib pemilik toko? Mereka adalah pahlawan tanpa jubah, tanpa medali, tapi punya rak penuh barang yang tiba-tiba berubah menjadi harta karun umum saat bencana datang. Ironisnya, mereka pun sebenarnya korban. Mereka tidak merencanakan tokonya menjadi gudang penyelamat kota, tetapi keadaan memaksa demikian. Barang-barang yang hilang bukan hanya soal uang, tetapi hasil jerih payah siang malam, mulai dari mengangkat karung tepung sampai menjaga toko agar tetap hidup di tengah kompetisi pasar. Namun di balik kerugian itu, secara tidak langsung, banyak nyawa terselamatkan karena stok makanan dan minuman mereka.

Dalam situasi itu, kita sebagai masyarakat sebenarnya layak memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada para pemilik toko. Kalau bisa, diberi sertifikat Pahlawan Logistik Tak Sengaja. Tentu saja penghargaan tidak bisa mengganti kerugian. Untuk itu, negara sudah sewajarnya mengambil peran sebagai penanggung jawab utama. Negara yang baik bukan hanya muncul saat pemilu, tapi berdiri paling depan ketika warganya ketakutan, kelaparan, dan kebingungan. Kalau bencana adalah ujian nasional, maka negara seharusnya tidak datang hanya membawa lembar jawaban, tapi juga membawa solusi—termasuk untuk para pemilik toko yang menjadi korban kedua setelah masyarakat.

Pemilik toko adalah warga negara yang punya hak sama seperti korban lain. Mereka bukan ATM berjalan yang bisa ditarik seenaknya ketika bencana melanda. Jika rakyat lain butuh diselamatkan, pemilik toko pun begitu. Jadi wajar jika negara wajib mengganti kerugian mereka. Ini bukan hadiah, tapi tanggung jawab. Kalau negara bisa menganggarkan hal-hal tak penting, maka mengganti kerugian toko yang menjadi benteng logistik dadakan saat bencana mestinya masuk daftar prioritas. Kalaupun sulit, minimal negara harus hadir dengan skema bantuan yang jelas, bukan sekadar janji manis seperti brosur pengembang perumahan.

Perlu kita akui, dalam kondisi darurat, toko-toko itulah yang kadang menyelamatkan lebih banyak orang dibandingkan kebijakan. Saat keluarga tidak sempat memasak atau mencari air bersih, merekalah yang menyediakan jalan keluar instan. Itu sebabnya ucapan terima kasih secara moral wajib diberikan. Bahkan kalau perlu, pemilik toko diberi ruang curhat nasional agar bisa menceritakan pengalaman emosional mereka ketika barang-barangnya “melayang” dalam hitungan menit. Sudah saatnya negara melihat mereka sebagai sekutu kemanusiaan, bukan sekadar pelaku usaha yang harus menanggung dampak bencana sendirian.

Negara juga harus ingat: tidak semua orang yang mengambil barang ingin jadi kriminal. Banyak yang melakukannya karena panik, cemas, dan tidak punya pilihan. Di sinilah tugas pemerintah membangun sistem penanganan bencana yang lebih cepat daripada kecepatan rumor WhatsApp. Semakin cepat negara hadir, semakin kecil peluang toko berubah menjadi warung swadaya bebas bayar. Maka ganti rugi bukan hanya soal menutup kerugian, tetapi juga memperbaiki sistem agar kejadian serupa tidak terus berulang. Negara hadir bukan hanya untuk memerintah, tapi untuk menenangkan rakyatnya.

Pada akhirnya, penjarahan tetap salah, tapi memahami konteks kemanusiaan adalah hal yang bijak. Pemilik toko layak dihormati, dilindungi, dan diberikan kompensasi atas kerugiannya. Mereka tanpa sengaja menjadi penyelamat dalam situasi yang bahkan negara pun tidak siap. Maka sudah tepat jika negara mengucapkan terima kasih dan memberikan ganti rugi. Karena ketika bencana datang seperti tamu tak diundang, yang berdiri paling depan justru rakyat itu sendiri—dengan seluruh keterbatasan dan kebaikan hati. Dan di tengah kekacauan itu, peran pemilik toko adalah bukti bahwa pahlawan terkadang muncul dari balik etalase kaca.

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *