JadiKabar.com – Menteri Pertanian Amran Sulaiman menggugat Tempo dengan perkara bernomor 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL, menuntut Rp 19,17 juta plus Rp 200 miliar—angka yang membuat banyak orang spontan menyesap kopi hitam lebih cepat dari biasanya. Semua bermula dari poster Tempo Poles-Poles Beras Busuk yang menurut Amran merusak citra kementeriannya, sementara Tempo berdalih hanya menjalankan tugas mulia jurnalisme. Seperti kata Bill Kovach, Jurnalisme adalah upaya mencari kebenaran, meski kadang kebenaran itu baunya memang… sedikit busuk. Dewan Pers sudah memberi rekomendasi, Tempo sudah patuh, dan pakar hukum pers Prof. Toyib Laksana—yang terkenal karena ketegasan dan humor satirnya—berkomentar, Kalau kritik dianggap pelanggaran, demokrasi bisa ikut digugat.
Dalam sudut pandang hukum, kisah sengketa Amran–Tempo ini seperti drama ruang sidang yang dicampur sedikit stand-up comedy: Undang-Undang Pers sudah jelas berkata, Kalau ribut soal berita, ya ke Dewan Pers dulu, jangan langsung gugat Rp ratusan miliar seperti sedang belanja flash sale. Hakim PN Jaksel pun mengangguk bijak sambil mengetuk palu, Ini sengketa pers, bukan perkara perdata murni, seolah mengingatkan bahwa hukum juga butuh logika, bukan hanya angka fantastis. Pakar hukum pers Prof. R. Satria Gunawan—yang terkenal suka menyelipkan humor kering—berkomentar, SLAPP ( Strategic Lawsuit Against Public Participation adalah tindakan melalui proses litigasi (cara penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan ) untuk membungkam atau menghentikan para aktivis lingkungan hidup, aktivis hak asasi manusia, atau masyarakat dalam mempergunakan haknya, guna berpartisipasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ) itu bukan tepuk tangan, tapi upaya membungkam kritik. Intinya, pejabat boleh tersinggung, media boleh salah, tapi jalur pers harus didahulukan agar demokrasi tidak ikut tersandung.
Dalam sudut pandang politik, drama gugatan jumbo ala Amran–Tempo ini seperti sinetron kekuasaan yang lupa matikan mikrofon: angka ratusan miliar membuat publik berpikir pejabat kita mungkin alergi kritik tingkat akut, padahal di demokrasi, kritik itu seperti sayur bening—harus ada setiap hari. Putusan PN Jaksel yang menolak gugatan justru menyelamatkan wajah pemerintah, seolah berkata, Tenang, negara masih waras dan pers masih boleh bersuara. Pakar politik Dr. Gatra Wirawan—yang terkenal cerewet tapi lucu—mengutip pepatah jurnalistik, Ketika jurnalis takut bicara, selanjutnya yang bicara hanyalah propaganda. Relasi kekuasaan vs media kembali seimbang, dan kasus ini mengingatkan pejabat bahwa melawan kritik bukan pakai gugatan besar, tapi klarifikasi yang lebih besar hati.
Dari sudut pandang sosial, drama Amran–Tempo ini membuat publik seperti sedang menonton pertandingan tinju antara Kritik Publik vs Kulit Tipis Politik, dengan tiket masuk berupa rasa penasaran dan sedikit tawa getir. Gugatan Rp 200 miliar itu dianggap sebagian orang sebagai upaya membungkam suara wajan karena kritik soal beras—barang yang setiap hari nongkrong di dapur rakyat. Ada yang bilang Tempo provokatif, ada yang bilang pemerintah terlalu sensitif, tapi mayoritas sepakat bahwa kritik itu vitamin demokrasi. Seperti komentar pakar sosial Prof. Lila Darmawati yang terkenal ceplas-ceplos, Kalau judul pedas saja bikin marah, bagaimana menghadapi kenyataan yang lebih panas? Dan mengutip pepatah jurnalisme: news is what somebody wants suppressed; the rest is advertising. ( = berita adalah sesuatu yang ingin ditekan; sisanya adalah iklan )
Dari sudut pandang hukum, kasus Amran–Tempo ini seperti ujian nasional bagi demokrasi: siapa yang benar, siapa yang terlalu baper, dan siapa yang lupa bahwa Undang-Undang Pers ( UU No 40 tahun 1999 ) itu masih berlaku. Hakim PN Jaksel sudah jelas bilang, Ini sengketa pers, bukan perkara perdata murni, seakan mengingatkan bahwa Ruang Sidang Bukan Tempat Curhat Terluka oleh Judul Berita. Putusan ini jadi preseden manis yang mencegah praktik SLAPP—yang menurut pakar hukum pers Dr. Bagas Wirayudha, bukan tepuk tangan, tapi teknik menepuk mulut orang lain supaya diam. Tapi pejabat tetap boleh menggugat asal lewat jalur yang benar: mekanisme Dewan Pers dulu, bukan langsung lempar gugatan miliaran seperti melempar bakso panas.
Dari sudut pandang politik, kasus Amran–Tempo ini terasa seperti panggung drama di mana pemerintah tiba-tiba terlihat alergi kritik, padahal kritik itu semestinya kudapan wajib dalam menu demokrasi—mirip sambal: pedas, tapi bikin sehat. Gugatan bernilai raksasa itu sempat memunculkan kesan bahwa kekuasaan ingin mengatur narasi seperti sutradara galak, namun putusan PN Jaksel langsung menurunkan tensi dan memberi pesan halus: Tenang para Ketua .., pers masih boleh bicara tanpa disemprot obat anti-jamur. Pakar politik Prof. Daru Mahardika—yang terkenal dengan humor pahitnya—berkomentar, Kalau kritik dianggap ancaman, maka pemerintah sedang memerangi cermin. Kasus ini mengajari pejabat bahwa klarifikasi lebih elegan daripada menggertak dengan gugatan jumbo.
Berbekal putusan PN Jaksel yang menolak gugatan jumbo Mentan, masa depan kebebasan pers di Indonesia mendadak terasa seperti kopi hitam yang akhirnya dapat gula: pahit, tapi ada harapan manisnya. Banyak pengamat bersorak, mulai dari Prof. Hikmah Santosa, pakar hukum pers yang bilang, Pengadilan telah mengingatkan, pejabat itu bukan dewa yang anti kritik. Bahkan Goenawan Mohamad pernah menyindir, Pers itu tugasnya mengganggu yang nyaman dan menenangkan yang terganggu. Putusan ini membuat media merasa seperti superhero yang baru ganti baterai—lebih percaya diri, lebih berani investigasi. Meski begitu, ancaman SLAPP tetap mengintai, media sosial masih rawan salah paham, dan kepemilikan media makin mirip dinasti politik kecil. Tapi setidaknya, untuk saat ini, ruang bernapas jurnalis bertambah… dan itu saja sudah cukup bikin demokrasi tersenyum.
Jika melihat arah angin politik dan putusan PN Jaksel, masa depan kebebasan pers Indonesia mungkin akan bergerak seperti serial drama: tegang, tapi tetap bikin ketagihan. Banyak ahli memprediksi negara akan memperkuat mekanisme sengketa pers—mulai dari revisi aturan UU Pers sampai perlindungan ekstra bagi jurnalis yang sering dibentur-benturkan dengan pasal karet. Dr. Ratna Suramenggala, pakar komunikasi politik, bahkan berkomentar, Anti-SLAPP itu bukan aksesori demokrasi, tapi helm keselamatan bagi jurnalis. Kutipan klasik Walter Lippmann—Where all think alike, no one thinks very much—muncul lagi sebagai pengingat: kritik wajib dibiarkan bernapas. Putusan PN Jaksel pun berpotensi jadi titik balik, seolah berkata, Hei, gugatan ratusan miliar itu bukan alat untuk membungkam, melainkan alarm bagi kita memperbaiki demokrasi. Hasilnya? Pers boleh tegang, tapi tak lagi sendirian.
Pers yang dikritik pejabat itu biasa, tapi pejabat yang panik pada kritik—nah, itu justru berita besar. Dalam publisistik, fungsi utama media adalah menggugat kenyamanan kekuasaan. Kalau kritik harus minta izin dulu, itu bukan pers—itu brosur pemerintah – Prof. Yustinus Ariawangsa.
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












