Berbicara tentang panggilan Ketua di Sumatera Utara itu mirip membahas sambal ikan teri pakai cabe: pedas, menggelegar, tapi dirindukan. Di Medan, memanggil orang dengan sebutan Ketua bukan sekadar basa-basi, ini investasi sosial: siapa tahu besok-besok tiba tiba jumpa dia pas pulangnya di salamkannya lempol, khan cemana rasanya ha ha ha. Dalam obrolan sehari-hari, panggilan Ketua muncul lebih cepat daripada Wi-Fi . Bahkan pedagang sayur pun bisa bilang, Ketua, timun sama kangkung sekilo ya, jangan lupa bonus cabe rawit. Lucunya, tidak perlu punya jabatan resmi. Kau cuma perlu aura percaya diri, gaya jalan sedikit miring ke kiri kanan seperti bodyguard kondangan, dan sesekali wajah tegas macam baru selesai negosiasi damai antara geng lorong duapuluh dan pajak parluasan. Di titik ini, Ketua berubah menjadi bahasa cinta sekaligus strategi diplomasi yang lebih ampuh daripada slogan ini Medan Bung. Karena di Medan, Sapaan “Ketua” itu adalah tiket sosial. Rasanya kayak bilang, Aku menghormatimu, dan tolong jangan tiba-tiba keras kali sama aku. Ini budaya hormat yang dikemas dengan humor dan sedikit bumbu kewibawaan. Orang Medan suka kesederhanaan—asal tetap ada gengsi tipis-tipis.
Panggilan ini punya sejarah sosial yang lumayan penuh drama dan bumbu. Mulai dari masa adat Batak yang penuh struktur kepemimpinan, sampai era abang-abang komplek yang memegang posisi strategis penjaga parkir dan penentu siapa duluan beli es tebu. Medan memang kota unik; di sini penghormatan sosial kadang ditandai bukan dengan gelar, tapi dengan siapa paling keras tepuk meja di warung kopi tanpa bikin pemiliknya marah. Ketua akhirnya menjadi semacam gelar tidak tertulis yang berfungsi sebagai peredam konflik, pemupuk gengsi, dan penjamin rasa aman. Hari ini, sebutan itu menyebar sampai dunia maya—komentarnya pun sama: Siap Ketua, mantap kali pemikiranmu, gas kan! Kalau bahasa cinta di Jakarta adalah “beb”, di Medan itu Ketua. Lebih berwibawa, lebih maskulin, dan lebih cocok untuk menagih utang dengan elegan. Sapaan ketua itu seperti kartu akses. Sosiolog Soerjono Soekanto bilang, status dan pengakuan sosial sering lahir dari simbol budaya, bukan struktur formal saja. Nah, di sini simbol itu cuma satu kata: Ketua. Ada unsur penghormatan, upaya menjaga harmoni, dan… jujur saja, sedikit kebutuhan ego biar hidup tak terasa datar kayak stang becak yang jalannya mereng.
Di Medan, panggilan “Ketua” bukan sekadar titel—itu semacam status sosial plus aura kharisma bonus paket dominan, mirip jurus pamungkas dalam film silat, tapi versi ekonomi dan ormas. Lihat saja dua ikon: T.D. Pardede, raja bisnis yang sukses bikin proyek besar sampai orang bilang kalau beliau batuk, ekonomi Medan bisa ikut pilek, dan Olo Panggabean, tokoh pemuda dengan wibawa yang bikin orang otomatis duduk tegap begitu beliau lewat. Di sini, Ketua lebih kaya makna dari sekadar jabatan; ia simbol kepemimpinan versi lokal: gabungan wibawa, relasi, dan kemampuan mengatur situasi—baik di ruang rapat berbusa strategi bisnis, maupun di warung kopi sambil ngeteh manis. Seperti kata sosiolog Indonesia, Prof. Selo Soemardjan, Pemimpin hadir ketika ia mampu memengaruhi kehidupan sosial masyarakatnya—dan di Medan, yang sanggup begitu? Ya, itulah yang dipanggil Ketua, entah pakai jas rapih atau kaos oblong santai.
Namun, jangan salah sangka. Di balik semua kelakar, ada dinamika sosial yang berjalan. Penggunaan kata Ketua adalah survival mode. Di medan urban yang kadang lebih ramai daripada pasar ikan jam tiga sore, memanggil orang dengan hormat bisa jadi alat diplomasi. Kau tidak tahu siapa benar-benar Ketua dan siapa hanya Ketua honoris causa level tongkrongan. Jadi, panggil saja semua orang Ketua, aman sentosa dunia akhirat. Bahkan kalau ke sasar di jalan maka tanya saja sama yang lewat : Ketua, kalok ke aksara naek mopen mana ? Ini adalah cara halus menghindari konflik sambil menjaga muka. Lebih efektif daripada seminar motivasi dua hari satu malam yang isinya cuma kalimat percaya proses dan bangun pagi, sukses menanti. Di Medan, bangun pagi belum tentu sukses, tapi minimal kau tidak dicap kurang ajar karena lupa panggil orang dengan titel sosial yang sesuai. Kadang sapaan Ketua bikin sebagian orang merasa harus tampil punya kuasa. Akhirnya muncul fenomena ketua-ketuaan—gestur tegas, suara direndahkan, tatapan sok dingin. Padahal kapasitasnya cuma ketua grup whatshaap. Tapi itu risiko budaya simbolis; ada yang menerima dengan santai, ada yang terjebak peran. Ibarat pakai jas ke warung lontong malam, terlihat keren tapi tidak perlu-perlu amat.
Tentu ada dampak positif dari fenomena ini. Pertama, rasa persaudaraan meningkat drastis. Di warung kopi, setiap orang terasa seperti pengurus inti organisasi. Percakapan penuh dengan Ketua, gimana menurutmu situasi politik di negara konoho saat ini? Seketika semua orang berubah jadi analis politik sekelas Rocky Gerung. Yang paling menarik, panggilan Ketua memberi ruang bagi siapa pun untuk merasa dihargai, meski pun pencapaian hari itu cuma berhasil parkir paralel tanpa ribut sama satpol PP. Ini meningkatkan rasa percaya diri masyarakat, menciptakan atmosfer hangat, dan mencegah munculnya drama kau kira siapa dirimu? Yang ada justru, siap Ketua, mantap kali! Hidup langsung terasa berdimensi, penuh hormat, dan berkilau ringan, persis seperti efek kamera TikTok tapi untuk ego. Mayoritas merespon dengan jenaka dan akrab. Sapaan Ketua bisa meredam konflik bahkan sebelum konflik itu muncul. Di Medan, kau salah parkir, bilang saja, Ampun Ketua, tak sengaja. Seketika tensi turun, dan mungkin kau malah diajak ngopi dan syukur syukur salamkannya lempol, ya ngak !!. Tapi tentu ada wilayah sensitif. Jangan sembarang pakai nada yang salah. Nada “Ketuaaaaa…” bisa bermakna hormat, tapi juga bisa seperti mau menjual ide MLM.
Namun, mari kita bicara sisi gelapnya sedikit, biar lengkap macam laporan penelitian skripsi. Kadang-kadang, panggilan ini menimbulkan gegabah sosial. Semua orang merasa harus punya pengaruh. Ada yang mulai memposisikan diri bak pemimpin mafia lokal, padahal cuma Ketua Remaja Mesjid, yang penting ada jabartan Ketuanya…. Ini memicu kompetisi gengsi tak berkesudahan: siapa paling ditakuti, siapa paling dihormati, dan siapa paling kencang ngomong soal koneksi. Kadang kita mendengar, Kau hati-hati, itu kawan Ketua besar. Padahal Ketua besar yang dimaksud cuma admin grup WhatsApp perumahan. Dalam kondisi begini, panggilan Ketua bisa berubah dari fleksibel jadi sedikit menegangkan, terutama kalau ada yang baper dan lupa bahwa jabatan ini sifatnya cair, bukan semacam warisan kerajaan. Kalau tidak hati-hati, kesan kepemimpinan jadi performatif. Di mana sekarang butuh jadi pemimpin lewat karya, bukan lewat gaya jalan dan kacamata hitam pukul tujuh pagi. Sapaan itu bagus, tapi isi harus menyusul. Jangan cuma tampang berkelas, isi obrolan tetap soal skema cicilan motor dan cewek kost di sebelah rumah.
Dari perspektif sosiologi, ini menarik sekali. Sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto pernah menjelaskan bahwa status sosial di masyarakat tidak hanya ditentukan secara formal, tetapi juga dibangun melalui pengakuan sosial dan simbol budaya. Nah, di Sumatera Utara, simbol itu sering kali berupa satu kata sederhana: Ketua. Pengakuan ini memperlihatkan kebutuhan manusia terhadap legitimasi sosial, rasa diperhitungkan, dan hubungan hierarki yang cair. Fenomena ini adalah bentuk adaptasi terhadap lingkungan sosial yang dinamis—di mana kekuasaan kadang hadir bukan lewat jabatan resmi, tetapi lewat karisma, jaringan, dan kemampuan membeli rokok untuk satu tongkrongan tanpa pamer struk. Secara akademik, ini menarik; secara praktik, ini juga alat bertahan hidup yang menggemaskan. Semua budaya populer perlu ruang refleksi. Tapi bukan berarti dibasmi. Kita cukup sadar bahwa panggilan “Ketua” itu lucu, hangat, sekaligus berpotensi membentuk hierarki halus. Tinggal kita kontrol. Jadilah Ketua yang mengayomi, bukan Ketua yang bikin orang pindah tongkrongan demi keselamatan mental.
Pada akhirnya, panggilan Ketua adalah gambaran bahwa masyarakat Sumatera Utara itu keras di luar, hangat di dalam—mirip tahu isi simpang jalan. Di dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan, sapaan ini menghadirkan humor, keakraban, dan sedikit sensasi jadi orang penting meski sementara. Dan jujur saja, siapa sih yang tidak ingin sesekali dipanggil “Ketua” lalu merasakan aura seperti tokoh utama film laga lokal? Intinya, jangan terlalu serius. Mau kau dosen, driver online, bos restoran, atau ahli rebahan profesional, panggilan Ketua selalu mujarab untuk mencairkan suasana. Jadi kalau besok-sore ada kawan bilang, Ketua, ngopi kita, jangan ragu jawab, Gas, Ketua. Sebab di Medan, kehebatanmu bukan hanya soal jabatan—tapi soal siapa yang manggilmu Ketua dengan penuh hormat dan tawa. Jadilah Ketua bukan karena dipanggil, tapi karena kau membawa manfaat. Kalau orang manggil kau “Ketua,” jawab dengan rendah hati. Kalau tidak ada yang manggil, jangan sakit hati—mungkin kau lagi fase observasi sosial. Dan ingat, di Medan, yang paling hebat bukan yang paling galak, tapi yang paling gampang diajak makan lontong sambil tertawa. Itu baru pemimpin sejati.
Generasi muda Sumut harus paham, panggilan ‘Ketua’ bukan tiket untuk gaya sangar. Kita harus jadi Ketua yang menginspirasi, bukan Ketua yang bikin orang pindah tongkrongan.- Dani Pratama Lubis
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












