Daerah  

Kopi Embongan. Dari Secangkir Harapan, Musik, dan Keteguhan Difabel di Lereng Pujon

Jaka Media
Kopi Embongan. Dari Secangkir Harapan, Musik, dan Keteguhan Difabel di Lereng Pujon
Gatot Suprianto dan Eko Pramono, penyandang disabilitas saat tengah perform bersama untuk menghibur pengunjung Kopi Embongan.

JADIKABAR.COM – Di lereng hijau Pujon, Kabupaten Malang, ada aroma kopi yang tak sekadar menggoda lidah, tapi juga menyentuh hati. Namanya Kopi Embongan, sebuah kedai kecil yang menyimpan cerita besar tentang semangat, kemandirian, dan persaudaraan di antara para penyandang disabilitas.

Di bawah lampu temaram dan alunan gitar, setiap denting nada di Kopi Embongan bukan hanya musik. Ia adalah suara keberanian. Suara mereka yang memilih bangkit dan berkarya, bukan mengeluh dan menyerah.

Sosok di balik kisah ini adalah Gatot Suprianto, pria difabel yang dulu mengayuh semangatnya bersama gerobak kopi keliling. Ia pernah menjajakan kopi dari kampung ke kampung, hingga suatu hari mendapat bantuan modal usaha dari Kementerian Sosial RI, kala itu dipimpin oleh Tri Rismaharini.

“Dulu saya keliling jualan kopi. Sekarang Alhamdulillah bisa punya tempat sendiri, dan yang paling bahagia adalah bisa kumpul bareng teman-teman difabel lainnya untuk bermusik,” tutur Gatot dengan mata berbinar, Senin (6/10/2025).

Kini, Kopi Embongan berdiri di Jalan Brigjen Abdul Manan, Pujon, bukan sekadar kedai, tapi rumah kedua bagi para penyandang disabilitas. Sebuah ruang inklusif tempat mereka saling mendukung, menyalurkan bakat musik, dan menghidupkan semangat kemandirian.

Setiap malam, panggung kecil di Kopi Embongan berubah menjadi arena ekspresi. Di sana, gitar berdialog dengan kendang, keyboard bersahut dengan vokal lembut. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan bukan hanya hiburan, tapi juga pernyataan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berkarya.

Fasilitas musik di Kopi Embongan pun lengkap. Ada gitar, drum, bass, keyboard, bahkan kendang. Semua bebas digunakan siapa pun yang ingin tampil, tanpa batasan, tanpa perbedaan.

Tak hanya itu, Gatot juga menyiapkan fasilitas ramah disabilitas agar siapa pun yang datang bisa menikmati ruang ini tanpa hambatan. Ia tengah bersiap menyambut HUT ke-3 Kopi Embongan, 3 Desember 2025 bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional. Acara ini bakal menghadirkan komunitas difabel dari berbagai daerah.

“Biar semua tahu, kita bisa tampil, bisa berkarya, dan bisa bahagia,” ujarnya mantap.

Dalam setiap perjuangan, selalu ada sosok yang mendukung tanpa pamrih. Bagi Gatot, itu adalah Santoso, sang kakak kandung yang setia menemaninya dari awal perjalanan.
“Asalkan membuatnya bahagia, saya akan terus ikut ke mana pun dia pergi,” tutur Santoso sambil menyiapkan pesanan kopi pelanggan.

Ia berharap kisah adiknya bisa menjadi inspirasi bagi semua penyandang disabilitas. “Jangan pernah minder. Walau banyak yang memandang sebelah mata, tetaplah semangat. Karena hidup ini bukan tentang sempurna, tapi tentang bertahan dan berbuat baik,” ucapnya penuh makna.

Dukungan juga datang dari Eko Pramono, musisi difabel asal Kota Batu yang kerap mampir untuk tampil dan berdiskusi.
“Saya sangat mendukung keberadaan Kopi Embongan ini. Kami bisa menyalurkan ekspresi lewat musik dan saling menguatkan,” ujarnya.

Eko, pencipta lagu “Batu Kota Surgawi”, sering datang setelah mengamen untuk berbagi pengalaman dan menghidupkan suasana. “Di sini kita saling tukar cerita, tertawa bareng, dan belajar banyak hal. Guyub, rukun, dan penuh semangat,” tambahnya.

Kopi Embongan bukan sekadar warung kecil. Ia adalah simbol keberanian dan kesetaraan. Dari meja sederhana dan alat musik seadanya, muncul nada-nada yang menggerakkan hati, mengajarkan arti kerja keras dan kebersamaan.

Di tempat ini, kopi tak hanya diseduh tapi juga diperjuangkan. Musik tak hanya dimainkan tapi juga dihidupi. Dan keterbatasan tak pernah menjadi alasan untuk berhenti bermimpi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *