Membeli Kenderaan Baru dengan di paksakan

Avatar photo
Membeli Kenderaan Baru dengan di paksakan
Foto AI: Membeli Kenderaan Baru dengan di paksakan

Di negeri yang cuacanya panas tapi gengsi sosialnya jauh lebih panas, membeli mobil sering dianggap sebagai tanda kemapanan, bukan kebutuhan. Begitu seseorang naik mobil baru dengan plat merah muda, tetangga langsung berbisik, Wah, naik kelas!. Padahal yang naik bukan kelas sosial, tapi tekanan darah karena cicilan lima tahun di depan sudah menunggu di tikungan. Mobil baru itu seperti pacar ideal—ingin dipamerkan, dibanggakan, tapi ongkos perawatannya kadang bikin ingin menghilang sejenak ke kosan teman sambil minum teh manis sachet. Ekonom Emil Salim pernah menyampaikan bahwa kesejahteraan rakyat bukan soal simbol, tapi kemampuan hidup layak. Ironisnya, di kampung kita, hidup layak sering diterjemahkan menjadi: punya mobil, punya AC, dan sesekali liburan ke puncak meskipun bensin disponsori hasil pinjaman temen.

Saat seseorang memutuskan membeli mobil baru, itu bukan sekadar keputusan finansial, tapi deklarasi resmi kepada dunia bahwa dia sudah siap menghadapi cicilan, pajak, servis, dan drama lampu indikator mesin yang tiba-tiba nyala kayak hati yang tiba-tiba kangen mantan. Beli cash dong biar nggak rugi bunga! kata guru ekonomi WhatsApp group keluarga. Tapi di kenyataannya, beli cash hanya dimiliki mereka yang hidup dalam dunia yang sama dengan unicorn—ada, tapi kita jarang lihat. Mau kredit? Silakan, tapi siap-siap bayar dua kali lipat dari harga awal, macam beli mobil plus saham perusahaan sekaligus. Ekonom Chatib Basri pernah menyinggung bahwa konsumsi harus disesuaikan pendapatan; tapi bagi sebagian orang, yang penting sekarang keren dulu, nanti rekening yang bersedih.

Depresiasi mobil adalah tragedi kecil yang harus kita terima dengan senyum getir. Baru keluar showroom, harga jatuh seperti semangat Monday morning. Lima menit lalu harganya Rp300 juta, begitu roda menyentuh aspal pertama kali, nilainya turun jadi Rp240 juta. Bahkan hubungan cinta yang kandas tak sesakit itu. Lalu saat ingin dijual dua tahun kemudian, harganya bisa turun 30% lagi, padahal kilometer baru seribu, karena kebanyakan dipakai ke minimarket dan jemput pasangan. Ekonom Sri-Edi Swasono menegaskan bahwa ekonomi harus berpihak pada rakyat kecil, tapi di dunia otomotif, yang berpihak ke rakyat kecil hanyalah pedagang mobil bekas yang bilang: Unitnya bagus, tapi pasaran lagi turun, ya Ketua.

Ada yang bilang penyebab harga mobil jatuh itu konspirasi global, permainan spekulan, atau sabotase alien ekonomi. Padahal jawabannya sederhana: hukum ekonomi dan logika pasar. Mobil bukan emas, bukan tanah, dan bukan kenangan masa sekolah yang makin lama makin mahal di hati. Mobil itu barang konsumsi, dipakai, aus, teknologinya berkembang cepat, dan setiap tahun muncul model baru yang bikin mata hijau dan dompet mengecil. Persis kayak tren skincare—yang lama masih ada, tapi yang baru lebih glowing, lebih slim, dan ada fitur anti mantan. Pasar mobil bekas itu kejam: pembeli ingin murah, penjual ingin balik modal, tapi realita hanya memberi kompromi berupa menahan napas sambil bilang, ya udah, jual aja deh.

Kredit mobil adalah seni membayar hal yang sama dua kali sambil meyakinkan diri sendiri bahwa itu keputusan finansial yang matang. Brosur leasing menawarkan bunga manis, Bunga 3% saja!—padahal itu flat rate, dan bunga efektifnya bisa dua kali lipat, seperti janji mantan yang katanya nggak bakal ghosting tapi hilang saat dibutuhkan. Ada biaya admin, asuransi, provisi, biaya fidusia, dan biaya yang nama-namanya sama misteriusnya dengan perasaan seseorang yang bilang kita teman kok tapi ngetag kamu di story tiap hari. Ekonom Faisal Basri mengingatkan bahwa transparansi ekonomi adalah kunci, tapi brosur kredit kayaknya beda kamus: transparansi versi mereka adalah tulisan kecil ukuran font 6 di bagian bawah halaman.

Lalu muncul pertanyaan klasik masyarakat: Kok pemerintah diam saja? Tenang, pemerintah tidak diam, hanya fokus pada hal-hal lain seperti infrastruktur, pajak, regulasi emisi, hingga memastikan knalpot bising tidak merusak kedamaian warga. Menyetabilkan harga mobil bekas bukan tugas negara, karena itu ranah ekonomi pasar. Kalau pemerintah ikut campur menentukan harga jual mobil pribadi, siap-siap negara berubah jadi ekonomi komando ala buku sejarah SMA. Kata Mohammad Hatta, tujuan ekonomi kita adalah kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran dealer. Jadi pemerintah sudah punya peran, hanya saja tidak pada posisi menolong hati yang patah karena rugi jual mobil.

Namun jangan sedih, ada solusi! Kalau mau mobil jadi aset, jadikan dia pekerja—bukan pajangan depan rumah buat nunjukin ke tetangga bahwa hidupmu sedang naik level. Jadikan ojek online, taksi online, sewa harian, atau kendaraan angkut barang. Mobil yang bekerja adalah mobil yang menghasilkan, bukan yang hanya menunggu diservis karena cuma dipakai ke pasar beli cabai dan telur. Hidup itu soal momentum—jangan sampai mobil diam di garasi, tapi cicilan tetap bergerak lincah seperti atlet lari olimpiade.

Dan tentu saja, bijaklah memilih mobil. Sesuaikan kebutuhan, bukan gengsi. Jangan sampai hanya demi pamer di lampu merah, kamu rela minum kopi sasetan sebulan penuh. Orang-orang bilang yang penting gaya dulu, tapi tagihan tidak pernah menghargai gaya—tagihan menghargai saldo. Dan saldo seringkali seperti mood mengerjakan tugas: mudah hilang tanpa kabar. Ingat pesan ekonom kerakyatan: kesejahteraan bukan punya mobil mewah, tapi hidup tanpa takut notifikasi debt collector.

Akhirnya, membeli mobil itu pilihan hidup, seperti memilih pasangan—pilih yang membuat hidup nyaman, bukan yang bikin stres dan nangis di pojokan aplikasi mobile banking. Mobil itu menyenangkan, berguna, bahkan membanggakan. Tapi ingat prinsip ekonomi sederhana: kalau alat transportasi membuatmu tidak bisa tidur nyenyak karena cicilan, itu bukan mobil—itu alarm finansial berbentuk roda. Jadi, nikmati hidup sederhana pun tak apa. Karena seperti kata bijak Batak, Hidup bukan soal laju mobilmu, tapi ketenangan hatimu. Dan seperti kata ekonom yang jarang dikutip di TikTok: Kemampuan finansial sejati bukan dihitung dari apa yang bisa kamu beli, tapi dari apa yang tetap kamu punya setelah kamu membeli.

Barang mewah itu bukan naik harga, tapi naik gengsi. Dan gengsi biasanya turun lebih cepat dari harga bekas mobil. – M. Dawam Rahardjo

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *