Mengapa Toyota Menolak Mobil Listrik Penuh ?

Avatar photo
Mengapa Toyota Menolak Mobil Listrik Penuh ?
Foto: Mengapa Toyota Menolak Mobil Listrik Penuh ?

JadiKabar.com – Ketika dunia sibuk nge-charge masa depan, Toyota malah injak rem dan bilang,.. Sellow dulu, Ketua.. Jangan goyang kali lah macem stang becak.. Mantan CEO-nya, Akio Toyoda, bikin heboh dengan pernyataan bahwa dunia tidak bisa langsung pindah ke mobil listrik penuh (Battery Electric Vehicle). Tapi ini bukan karena Toyota anti-kemajuan. Justru sebaliknya — mereka realistis. Seperti kata ekonom Joseph Schumpeter, Inovasi itu harus revolusioner, tapi tetap memperhitungkan yang akan terinjak olehnya. Nah, Toyota paham, kalau revolusi terlalu cepat, bisa-bisa yang terinjak malah ekonomi dan jutaan pekerja.

Toyota tahu bahwa transisi ekstrem bukan cuma soal mesin, tapi juga soal manusia. Ada 5,5 juta pekerja di Jepang yang bergantung pada industri mesin konvensional. Kalau semuanya dihapus begitu saja, pabrik tutup, ekonomi bisa batuk. Ekonom Indonesia, Prof. Emil Salim, pernah bilang, Pembangunan berkelanjutan bukan sekadar hijau, tapi juga manusiawi. Jadi, buat Toyota, menjaga keseimbangan antara inovasi dan pekerjaan itu penting — karena kalau yang hijau membuat dapur tak ngebul, nanti revolusi malah dikutuk, bukan dirayakan.

Toyota juga menolak asumsi bahwa listrik pasti bersih. Mereka bilang, Lihat dulu sumbernya! Kalau listriknya dari batu bara, ya polusinya cuma pindah tempat — dari knalpot ke cerobong. Ibarat orang diet nasi tapi nambah kue bolu, hasilnya sama aja. Toyota bicara konsep well-to-wheel, menghitung emisi dari hulu ke hilir. Di Indonesia, listrik masih 60% lebih bergantung pada batu bara. Jadi, kalau kita memaksa 100% mobil listrik hari ini, itu sama saja seperti mencuci mobil di sungai yang kotor — kelihatan bersih, tapi sebenarnya kotor lagi.

Alih-alih jadi penggemar satu teknologi, Toyota menganut multi-pathway strategy — membiarkan hybrid, hidrogen, dan listrik murni berjalan berdampingan. Ini bukan plin-plan, tapi fleksibel. Seperti kata ekonom Faisal Basri, Pasar yang sehat bukan yang seragam, tapi yang punya pilihan. Hybrid bisa jadi jembatan, hidrogen untuk masa depan, dan BEV ( kenderaan listrik baterai ) tetap dilanjutkan bertahap. Toyota tidak sedang menolak masa depan, mereka cuma bilang: masa depan harus bisa dicicil — karena kalau dibayar kontan, bisa bangkrut duluan.

Sekarang mari melirik ke Indonesia. Logistik adalah urat nadi ekonomi, tapi infrastruktur kita masih seperti peta jalan yang bolong-bolong. Bayangkan truk listrik mengirim barang dari Sipirok sana ke Belawan — belum sampai pelabuhan, baterainya sudah minta tolong. SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum ) masih langka, jaraknya lebih jauh dari rest area. Ekonom Chatib Basri pernah bercanda, Kalau kebijakan tidak sesuai realitas, yang menderita itu rakyat, bukan Excel. Jadi, Toyota mengingatkan: jangan sampai Indonesia ikut tren sebelum colokan listriknya siap.
Dalam konteks Indonesia, solusi hybrid dan hidrogen jauh lebih masuk akal. Hybrid tidak perlu ubah total infrastruktur, tapi tetap bisa hemat emisi. Sementara hidrogen bisa jadi opsi jangka panjang. Ekonom klasik David Ricardo dulu menyebut konsep comparative advantage — negara harus fokus pada apa yang paling efisien. Nah, buat Indonesia, mungkin keunggulan itu bukan BEV murni, tapi kombinasi solusi yang cocok dengan kondisi geografis dan pasokan energi. Toyota tampaknya hanya menerjemahkan teori ekonomi itu ke dalam bentuk mobil dan bahan bakar.

Untuk sektor logistik, pendekatan realistis adalah kuncinya. Truk EV ( kenderaan listrk )sangat cocok untuk rute pendek — distribusi dalam kota, pengiriman retail, atau antar gudang jarak dekat. Tapi kalau disuruh lintas provinsi, ya ampun, bisa-bisa pengemudinya lebih sering berhenti di SPKLU daripada di warung makan. Maka wajar, mesin konvensional masih berjasa besar. Seperti kata ekonom Indonesia, Prof. Mubyarto, Ekonomi rakyat itu soal efisiensi dan kemampuan bertahan. Jadi, jangan buru-buru pensiunkan bensin sebelum listriknya siap tempur.

Kalau mau transisi sukses, kuncinya kolaborasi: pemerintah bangun SPKLU, pengusaha investasi kendaraan, dan prinsipal otomotif mendukung riset energi bersih. Ini bukan kerja satu pihak, tapi kerja ekosistem. Adam Smith pernah bilang tentang invisible hand, tapi di Indonesia tangan itu harus kelihatan — dalam bentuk regulasi, subsidi, dan keberpihakan. Kalau semua berjalan serentak, barulah transisi energi tak jadi mimpi mahal. Karena tanpa koordinasi, mobil listrik cuma jadi “mainan pejabat” di garasi, bukan solusi logistik nasional.

Pelajaran besar dari Toyota: kadang lambat itu lebih cerdas. Toyota tidak anti-listrik, mereka cuma pro-logika. Dalam bisnis, kecepatan tanpa arah hanya akan membawa kita lebih cepat ke jurang. Untuk logistik Indonesia, kuncinya ada pada keseimbangan — bukan ikut tren global, tapi menyesuaikan dengan realitas lokal. Seperti kata Akio Toyoda, Yang penting bukan seberapa cepat kita berubah, tapi seberapa lama kita bisa bertahan. Nah, semoga logistik kita bisa melaju — tak harus ngebut, asal tidak mogok di tengah revolusi energi.
Mobil listrik memiliki keunggulan efisiensi energi dibandingkan kendaraan berbahan bakar bensin, tetapi juga menyoroti tantangan seperti jarak tempuh baterai yang pendek dan infrastruktur pengisian daya yang belum merata di Indonesia. – Dr. Yannes Martinus Pasaribu.

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *