Jadikabar.com – Membicarakan pahlawan nasional itu seperti ngobrol di warung kopi: selalu ramai, penuh pendapat, dan kadang lebih panas dari air seduhannya. Ada yang memuji setinggi langit, ada juga yang mencibir seolah sejarah bisa dihapus pakai penghapus pensil. Padahal, menjadi pahlawan itu bukan lomba menjadi sempurna, tapi soal siapa yang berani melangkah lebih dulu ketika yang lain masih sibuk mempertimbangkan cuaca. Dalam sejarah bangsa, setiap tokoh membawa warna — ada yang merah berani, ada yang abu-abu penuh dilema — tapi semua memberi jejak yang layak dibaca.
Masalahnya, kita sering lupa bahwa sejarah itu bukan sinetron, di mana tokoh utama selalu baik dan penjahat selalu kalah di akhir episode. Di dunia nyata, pahlawan bisa saja punya catatan kelam. Tapi apakah satu kesalahan harus menghapus seribu kebaikan? Sejarawan Prof. Taufik Abdullah pernah bilang, Sejarah tidak pernah hitam putih, ia selalu penuh gradasi. Nah, dari situlah bangsa seharusnya belajar: menilai dengan akal, bukan dengan amarah.
Lihat saja kisah Soeharto — di satu sisi disebut “Bapak Pembangunan”, di sisi lain dituding biang pelanggaran HAM. Pro dan kontra pun berdentum seperti debat di acara talk show malam Jumat. Tapi di balik semua itu, ada kenyataan bahwa sejarah tak bisa hanya dinilai dari satu bab. Sama seperti menilai rendang cuma dari warna kuahnya, kita bisa salah paham kalau tak mencicipi seluruh proses yang membuatnya matang.
Lalu ada Tan Malaka, pejuang gagasan yang dulu dicap pemberontak tapi akhirnya diangkat jadi pahlawan nasional. Sejarah seolah berkata, Maaf, Ketua, dulu kami salah paham. Tapi begitulah nasib orang yang melangkah terlalu cepat dari zamannya — seperti sinyal Wi-Fi yang kencang, tapi tak semua gawai mampu menangkap. Tan Malaka menunjukkan bahwa ide besar kadang baru diterima setelah pemiliknya tiada.
Bahkan Gus Dur pun, dengan segala kelucuannya, sempat menuai kontroversi. Tapi lihat sekarang, banyak orang mengenangnya dengan senyum dan rindu. Karena setelah semua debat reda, yang tersisa bukan kekeliruan politik, melainkan kehangatan kemanusiaan. Gus Dur membuktikan, pahlawan bisa datang dengan sarung dan tawa, bukan hanya seragam dan pedang. Katanya sendiri, “Yang penting manusia itu bermanfaat, bukan sempurna.”
Bangsa yang dewasa bukan yang sibuk menambal masa lalu agar tampak suci, tapi yang berani mengakui jasa meski disertai noda. Kalau setiap kesalahan dijadikan alasan untuk mencoret seseorang dari sejarah, mungkin daftar pahlawan nasional kita akan muat di selembar kalender Tahunan yang terpajang di dinding sekolah. Pahlawan itu manusia biasa yang luar biasa tekadnya, bukan malaikat yang lahir tanpa kesalahan.
Jadi, sebelum menuntut pahlawan sempurna, mari kita tanya diri sendiri: sudah seberapa berani kita berbuat baik tanpa menunggu momen sempurna? Jangan-jangan, kita lebih sibuk menilai sejarah orang lain ketimbang menulis kisah kita sendiri. Karena pada akhirnya, bangsa besar bukan yang hafal nama pahlawannya, tapi yang bisa meneladani semangat mereka — meski sambil tersenyum, menertawakan betapa rumit dan indahnya manusia bernama “pahlawan.”
Sejarah … mengandung pemikiran, penelitian, dan penjelasan mendetail mengenai perwujudan masyarakat. … Sejarah juga dapat dirujuk pada perubahan dan ‘tumpukan’ peristiwa yang menyebabkan perubahan itu terjadi. – Anhar Gonggong,
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












