Jadikabar.com – Perubahan filosofi pemidanaan dalam KUHP baru itu ibarat upgrade dari HP senter ke smartphone—bukan sekadar ganti casing, tapi ganti sistem operasi. Kalau dulu hukum pidana warisan kolonial jenisnya salah dikit, sikat, sekarang pendekatannya lebih ke ayo selesaikan masalah, jangan tambah drama. KUHP lama fokus balas dendam hukum, mirip netizen yang belum baca berita tapi sudah siap komen hukum mati!. KUHP baru lebih santai tapi bermakna: keadilan substansial lebih penting daripada sekadar pasal berbunyi gagah, dan hukuman bukan satu-satunya cara menertibkan kehidupan—kadang cukup dinasehati, seperti ibu kos menegur anak kontrakan yang jemur pakaian di ruang tamu. Seperti kata Prof. Satjipto Rahardjo, Hukum itu bukan menara gading, tapi jembatan menuju keadilan. Jadi, kalau hukum kita sekarang lebih lembut, jangan kaget; ini bukan lemah, tapi soft power keadilan versi Nusantara: tegas, manusiawi, dan tetap elegan tanpa bawa palu besar setiap saat.
Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang kadang lebih drama dari sinetron indosiar, banyak perkara kecil sebenarnya cukup diselesaikan dengan hati dan secangkir teh hangat, bukan borgol dan jeruji. Bayangkan anak kecil yang iseng ambil mangga tetangga, ibu tunggal yang kelimpungan memenuhi kebutuhan anak, atau pemuda yang salah ambil sandal di masjid karena bentuknya mirip—masa semuanya harus ikut turnamen jeruji besi nasional? Sistem hukum baru kita sadar bahwa tidak semua salah itu kriminal besar; ada yang hanya kesandung nasib buruk level receh. Negara kini mengedepankan kemanusiaan: yang lapar jangan langsung ditangkap, yang salah paham cukup diberi edukasi, dan yang menyesal biarkan memperbaiki diri tanpa label napi seumur hidup. Seperti pernah dikatakan Prof. Muladi, Hukum bukan hanya untuk menghukum, tetapi untuk membina dan melindungi. Jadi, bukan negara menjadi baik hati tiba-tiba—kita hanya akhirnya punya hukum yang tahu bedanya kriminal dengan orang yang cuma lagi apes.
Di era globalisasi, bukan cuma tren K-Pop dan kopi susu kekinian yang kita ikuti—tapi juga perkembangan hukum pidana modern. Negara-negara seperti Belanda dan Jerman sudah lama pakai konsep judicial pardon, alias maaf resmi dari negara versi hukum, bukan versi mantan yang tiba-tiba chat, kita baik-baik aja kan?. Indonesia pun nggak mau ketinggalan kelas, apalagi soal keadilan yang lebih humanis dan restoratif; masa kalah sama negara yang ikonnya kincir angin dan sosis? Kita ikut arus dunia, tapi tetap bumbu Nusantara: adil, manusiawi, tapi tetap tegas—bukan tegas ala satpam komplek yang suka salah sasaran. Sebagaimana Prof. Romli Atmasasmita pernah bilang, Reformasi hukum adalah bagian dari modernisasi bangsa. Jadi jangan heran kalau KUHP baru terasa lebih dewasa: bukan lagi zaman sedikit salah, auto penjara, tapi era di mana negara paham bahwa hukum juga punya hati—nggak melulu pasal, tapi juga nurani.
Di negeri Republik tercinta kita ini, pengadilan kadang mirip antrean minyak goreng waktu langka: panjang, sesak, dan penuh perkara yang levelnya lebih cocok diselesaikan lewat mediasi tetangga plus rebusan jagung. Bayangkan hakim harus mengurus kasus sandal tertukar, ayam nyebrang jalan tanpa izin, atau bapak-bapak rebutan kursi arisan—capeklah, Yang Mulia! Dengan mekanisme pemaafan hakim, peradilan bisa bernapas lega: kasus kecil diselesaikan secara elegan tanpa drama sidang berlarut yang bikin jaksa mikir, Kenapa saya tidak jadi barista saja?. Ini bikin pengadilan fokus ke kasus besar seperti korupsi, narkotika, atau mafia parkiran ilegal yang lebih licin dari belut dikasih minyak balsem. Seperti diingatkan Prof. Andi Hamzah, Sistem peradilan pidana harus efisien agar tujuan hukum tercapai. Jadi, pemaafan hakim bukan gaya-gayaan—ini strategi cerdas biar negara tidak kelelahan mengurusi persoalan sepele sambil melupakan yang benar-benar bikin negara tekor dan rakyat tepok jidat.
Setelah lebih dari satu abad berseteru dengan warisan hukum kolonial—yang kadang rasanya lebih kaku daripada celana seragam SD habis disetrika—akhirnya Indonesia memasukkan ketentuan pemaafan hakim ke KUHP. Prosesnya panjang, penuh debat antara akademisi, pejabat, praktisi, dan masyarakat sipil, mirip rapat RT yang membahas iuran sampah tapi level nasional. Intinya, kita sadar bahwa hukum itu bukan hanya soal menghukum, tapi juga soal hati nurani dan budaya kita yang suka damai, musyawarah, dan, tentu saja, maaf-maafan biar adem. Konsep restorative justice pun makin kinclong di panggung hukum negeri. Pasal ini jadi kompromi elegan: tetap ada putusan bersalah, tapi kalau sudah damai ya jangan sampai hidup jadi seperti sinetron azab. Seperti kata Prof. Mahfud MD, Hukum itu untuk memberi keadilan, bukan sekadar menghukum. Nah, sekarang hukum kita bukan cuma tegas, tapi juga lebih manusiawi—dan sedikit lebih Indonesia banget.
Kalau ketentuan pemaafan hakim ini dijalankan dengan bener, masa depan sosial-hukum kita bisa jadi lebih adem daripada teh manis dingin di siang bolong. Bayangkan, orang yang salah karena kebutuhan hidup — kayak ibu-ibu yang nyomot minyak goreng satu botol karena dapurnya nangis — nggak otomatis dicap kriminal seumur hidup. Prinsip restorative justice makin kuat, hubungan sosial nggak lagi patah gara-gara masalah receh yang bisa selesai dengan maaf dan sepiring pisang goreng. Penjara juga nggak lagi sesak kayak KRL jam pulang kerja, karena kasus kecil dialihkan ke penyelesaian yang lebih manusiawi. Hakim pun punya ruang jadi bijak, bukan cuma robot pembaca pasal. Ini juga melindungi kelompok rentan — anak muda tersesat, ibu miskin, atau si pencuri karena lapar. Seperti kata Prof. Satjipto Rahardjo, Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi hukum kita ke depan? Tetap tegas, tapi juga hangat — kayak bapak kos yang baik hati tapi galak soal jam malam.
Tentu saja, di balik manisnya ide pemaafan hakim, ada risiko yang bikin kita harus waspada seperti nunggu hasil UTBK sambil deg-degan. Kalau nggak transparan, publik bisa curiga, Loh, kok si A dimaafin, si B nggak? Jangan-jangan hakimnya punya paket unlimited kedekatan sosial, nih. Persepsi masyarakat juga bisa geser: hukumnya dibilang lembek, kayak tahu sutra kena sendok. Standar penerapannya wajib jelas, jangan sampai jadi kayak aturan parkir di warung — tergantung mood abang jaga. Yang paling ngeri, jangan sampai pemaafan cuma jadi fasilitas eksklusif seperti lounge bandara, yang masuknya cuma yang punya akses. Makanya perlu pedoman, pengawasan, dan kontrol publik, biar adil merata kayak sabun mandi di iklan. Seperti pesan Prof. Muladi, Penegakan hukum harus menjamin keadilan, bukan hanya kepastian. Jadi, pemaafan boleh, tapi jangan sampai berubah jadi drama favorit: Yang kaya bebas, yang miskin nangis di pinggir sidang.
Pemaafan hakim dalam KUHP baru ini ibarat upgrade sistem hukum kita dari versi kolonial Hindia Belanda ke Hukum Nusantara —lebih manusiawi, lebih berperasaan, dan nggak gampang menghukum rakyat kecil hanya karena salah langkah sedikit. Ini adalah cermin hukum modern rasa Indonesia, yang lebih percaya pada gotong royong dan ayo selesaikan baik-baik dibanding mental balas dendam negara. Hakim jadi bukan sekadar mesin ketok palu, tapi penjaga keadilan sosial yang ngerti bahwa mencuri ayam karena lapar itu beda kelas dengan korupsi triliunan lalu bilang hilang dimakan rayap. Tapi ya ingat, suksesnya pasal ini bergantung pada integritas hakim, pedoman yang jelas, dan masyarakat yang paham filosofi hukumnya, biar nggak langsung komen, Hukum di negara ini kayak tahu bulat—digoreng dadakan. Seperti pesan almarhum Prof. Satjipto Rahardjo: Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi ya, pemaafan boleh—asal hati dan otak tetap waras, bukan cuma dompet tebal yang menang.
Kekuatan hakim bukan hanya pada palu yang menjatuhkan hukuman, tetapi pada kebijaksanaan untuk memilih kapan keadilan membutuhkan pengampunan.- Prof. Bagir Manan.
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












