Jadikabar.com – Bayangkan pesta besar di rumah sendiri, tapi kamu malah jadi tamu yang canggung di sudut ruangan. Itulah nasib industri kecap Indonesia—merk-merk tua seperti Teng Giok Seng (1882) dan Cap Orang Jual Sate (1889) lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, tapi gagal jadi “tuan rumah” di pasarnya. Mereka seperti kakek-kakek yang datang lebih dulu ke acara keluarga, tapi malah duduk ngemil kacang sambil ngobrol masa lalu, sementara yang datang telat malah bikin semua orang joget. Ironisnya, sejarah panjang tak cukup untuk menancapkan dominasi. Menurut teori first mover advantage dari ekonom William Baumol, yang pertama masuk pasar punya keuntungan, tapi hanya jika bisa bertahan di benak konsumen. Di sini, kecap-kecap tua itu seperti pemain sepak bola yang punya pengalaman, tapi malah offside terus.
Kecap-kecap tua ini punya cerita epik: Cap SH (1920) lahir dari pedagang Cina, Bango (1928) dari Surabaya, Piring Lombok (1930) dari Lombok, Maja Menjangan (1940) dari Madura, dan Segi Tiga (1958) dari Jakarta. Mereka seperti pahlawan legenda yang bertarung melawan kolonialisme, tapi di era modern, mereka kalah oleh pemain baru. Bayangkan, mereka sudah ada sejak zaman kereta api uap, tapi pasar malah dikuasai oleh yang datang belakangan. Ini seperti cerita fabel di mana kura-kura tua kalah lari dari kelinci muda karena tertidur. Humornya, mereka punya rasa autentik, tapi pemasaran mereka kaku seperti baju kuno yang tak muat lagi. Akibatnya, mereka tersisih, meski punya heritage yang kaya.
Ironi puncaknya: meski lahir sebelum kemerdekaan, tak satu pun jadi pemimpin pasar. Mereka seperti tuan rumah yang undang tamu, tapi malah tamu yang rebut kursi. Padahal, kecap adalah bumbu harian Indonesia—dari sate sampai nasi goreng. Tapi, strategi mereka tak menyentuh hati konsumen. Seperti kata ekonom Indonesia Prof. Dr. Rhenald Kasali dalam bukunya Disruptive Innovation, inovasi bukan hanya tentang produk, tapi bagaimana menceritakan kisah yang menarik. Kecap tua ini punya cerita, tapi tak bisa bikin konsumen tertawa atau jatuh cinta. Akibatnya, mereka jadi tamu di negeri sendiri, sementara yang baru datang malah bikin pesta. Lucu, kan? (102 kata)
Baru pada 1978, Kecap ABC muncul dan langsung rebut tahta. Mereka seperti superhero yang datang telat tapi langsung jadi bintang utama. Dengan pemasaran agresif, ABC menancapkan diri sebagai yang pertama di pikiran konsumen. Bango, yang sempat lesu, bangkit setelah diakuisisi Unilever pada 2001. Mereka ciptakan USP (Unique Selling Proposition) dengan klaim kecap dari kedelai hitam, meski semua kecap pakai itu. Ini seperti bercanda: Kami yang pertama bilang hitam, jadi hitamlah kami!” Pemain tua seperti Piring Lombok dan Cap Orang Jual Sate, meski dibeli Indofood dan Sinar Mas, gagal bersinar. Dana besar tak cukup tanpa strategi. Humornya, mereka seperti orang kaya yang beli rumah mewah, tapi lupa beli kunci pintu.
Sekarang, bandingkan dengan industri rokok—itu baru tuan rumah sejati! Merk-merk tua seperti Dji Sam Soe (1913), Bentoel (1930), Djarum (1951), dan Gudang Garam (1958) jadi raksasa nasional. Mereka paham pasar, bangun identitas, dan jaga cita rasa lintas generasi. Bayangkan, rokok kretek itu seperti teman lama yang selalu ada di setiap acara—dari pesta ulang tahun sampai nongkrong malam. Mereka investasi fasilitas produksi, bahkan bikin kretek filter yang disukai konsumen muda. Ini kontras dengan kecap, yang seperti tamu yang datang tapi malah bikin hidangan asin tak karuan. Rokok ini sukses karena deliver produk yang konsisten, bukan cuma sejarah. Lucu, kecap asin pasar, rokok kretek tapi tetap kretek sukses.
Learning pertama: “First in the market” bukan jaminan jadi leader. Menjadi yang pertama hanya buka peluang, tapi yang menancap di benak konsumenlah pemenang. Kecap ABC, pemain baru, lakukan ini dengan pemasaran agresif—mereka jadi first in the consumer mind. Ini seperti teori first mover advantage yang dikembangkan oleh ekonom seperti William Baumol, tapi diadaptasi oleh tokoh ekonomi Indonesia Chairul Tanjung, yang sukses di bisnis dengan branding cerdas. Tanjung bilang, “Inovasi bukan tentang usia, tapi tentang bagaimana kamu bikin orang ingat. Kecap tua itu seperti kakek yang punya cerita, tapi malah lupa nama cucunya. Dengan kreativitas, brand lokal bisa rebut posisi, seperti Bolu Kukus Tugu Jogja yang jadi ikon.
Learning kedua: Produk harus “deliver.” Rasa, kualitas, dan konsistensi adalah tiket masuk hati konsumen. Tanpa itu, uang dan sejarah tak cukup. Rokok tua sukses karena investasi sistem produksi, termasuk kretek filter yang disukai. Ini seperti kata ekonom Indonesia Prof. Emil Salim, yang sering tekankan pentingnya kualitas dalam pembangunan ekonomi. Salim bilang, “Produk yang baik adalah fondasi bisnis yang tahan lama.” Kecap tua gagal karena rasa mereka tak evolusi—masih “tradisional” tapi tak menarik. Bayangkan, mereka seperti masakan nenek yang enak, tapi neneknya lupa resep. Rokok, sebaliknya, selalu update, jadi tetap “panas” di pasar. Humornya, kecap “asin” karena tak “deliver,” rokok “panas” karena selalu “kretek” inovasi!
Learning ketiga: “Money is not everything. Creativity is.” Modal besar tak otomatis sukses—Piring Lombok dan Cap Orang Jual Sate contohnya. Bango berjaya karena Unilever lihat celah dan ciptakan USP kuat: “Kecap dari kedelai hitam.” Hampir semua kecap pakai itu, tapi Bango yang pertama klaim kategori. Ini seperti teori “blue ocean strategy” dari Kim dan Mauborgne, yang diimplementasi oleh tokoh seperti Chairul Tanjung dalam bisnisnya. Tanjung sukses karena kreativitas, bukan cuma uang. Menariknya, jadi “first in the consumer mind” tak butuh modal besar—dengan kreativitas, brand lokal seperti Spikoe Resep Kuno Surabaya bisa menang. Mereka tanamkan USP lewat local heritage, bukan investasi besar, tapi cerita unik dan rasa tulus.
Jadi, kunci jadi tuan rumah di negeri sendiri: pahami pasar, deliver produk, dan kreatif. Kecap tua ajari kita bahwa sejarah bukan segalanya—inovasi dan brandinglah raja. Rokok tunjukkan bagaimana bertahan lintas generasi. Seperti kata Prof. Rhenald Kasali, “Bisnis sukses adalah tentang menceritakan kisah yang membuat orang jatuh cinta.” Dengan kreativitas, brand lokal bisa rebut tahta, seperti Bolu Kukus atau Spikoe. Lucu, kan? Di negeri sendiri, jangan jadi tamu—jadilah DJ pesta! Dan ingat, uang bisa beli kecap, tapi kreativitas yang bikin orang ketagihan. Tertawa sambil belajar, itulah ekonomi yang menghibur.
Untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kita harus menguasai pasar dengan inovasi dan kreativitas, bukan hanya mengandalkan sejarah masa lalu—karena pasar adalah panggung di mana yang cerdas dan adaptiflah yang memimpin. – Prof. Dr. Muhammad Zainuddin
Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas












