Malang, JADIKABAR.COM – Waktu memang terus berjalan. Namun, bagi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, setiap detik terasa berhenti pada malam kelam 1 Oktober 2022. Tiga tahun sudah hampir berlalu, tapi duka itu tetap tinggal. Lebih dari sekadar kehilangan, mereka masih berhadapan dengan kenyataan pahit, keadilan yang ditunggu belum juga datang.
Di antara ratusan keluarga yang berduka, nama Devi Athok begitu sering terdengar. Ia bukan hanya seorang ayah yang kehilangan, melainkan juga sosok yang terus bersuara. Dua anaknya, NDR (16) dan NBA (13), tak pernah kembali dari stadion malam itu. Baginya, doa dan air mata saja tidak cukup. Ia memilih melawan.
“Keadilan tetap akan saya perjuangkan sampai kapan pun. Kalau di dunia tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, hukuman akhirat pun akan saya kejar,” ucap Devi Atok.
Sejak awal, kasus ini hanya dijerat Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan orang meninggal. Bagi keluarga, itu terasa seperti meremehkan tragedi sebesar Kanjuruhan. Bagaimana mungkin ratusan nyawa dianggap hanya akibat kelalaian?
“Kami menolak jika ini terus dikatakan kelalaian. Ada bukti kekerasan, ada alat yang mestinya tak boleh dipakai. Nyawa-nyawa itu direnggut, bukan sekadar hilang begitu saja,” kata Misbahul Munir, kuasa hukum keluarga korban.
Itulah sebabnya, keluarga korban bersama tim advokasi terus mendesak penggunaan pasal yang lebih berat: Pasal 338 tentang pembunuhan atau bahkan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana.
Bukan hanya soal pasal hukum. Perjuangan keluarga juga berhadapan dengan tembok birokrasi. Surat demi surat dikirim ke DPR RI, hingga akhirnya pada Agustus 2025 ada secercah respons: rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP). Namun, lagi-lagi, tak ada kepastian kapan akan benar-benar digelar.
“Tragedi sebesar ini seharusnya mendapat perhatian serius. Keadilan harus ditegakkan, bukan hanya dijadikan agenda politik sesaat,” tegas Munir.
Tiga tahun lalu, tragedi ini merenggut 135 nyawa, melukai ratusan lainnya, dan menyisakan trauma mendalam bagi ribuan orang. Tapi Kanjuruhan bukan hanya soal sepak bola. Ia adalah cermin rapuhnya sistem, lemahnya perlindungan terhadap warga, dan masih jauhnya keberanian hukum untuk menegakkan kebenaran.
Kini, menjelang tiga tahun berlalu, keluarga korban kembali mengingatkan tiga tuntutan utama:
-
Pengungkapan ulang kasus dengan pasal yang lebih berat.
-
Penetapan tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat.
-
Tindak lanjut serius rekomendasi TGIPF yang dibentuk pemerintah.
Bagi keluarga korban, waktu tidak pernah menyembuhkan. Luka itu kini berubah menjadi pengingat, sekaligus dorongan untuk terus bersuara. Mereka tahu jalan menuju keadilan masih panjang, tapi memilih untuk tidak menyerah.
Karena bagi mereka, Tragedi Kanjuruhan bukan sekadar catatan kelam sepak bola Indonesia. Ia adalah ujian: apakah bangsa ini berani menghadapi kebenaran, atau justru memilih melupakannya.