Posita dan Petitum

Posita dan Petitum

Bayangkan kamu datang ke pengadilan seperti orang datang ke warung kopi. Kamu nggak bisa cuma bilang Saya mau keadilan, Yang Mulia! tanpa cerita dulu apa yang terjadi. Nah, di situlah si posita beraksi—dia semacam curhatan resmi si penggugat, lengkap dengan kronologi, bukti, dan alasan kenapa hidupnya jadi runyam gara-gara tergugat. Tanpa posita, hakim bisa bingung, Masalahnya apa, nih? Dalam hukum, posita itu kayak fondasi rumah—kalau fondasinya miring, bangunan putusan bisa roboh kena logika hakim yang tajam kayak pisau pengupas apel.
Posita (Fundamentum Petendi) adalah dasar atau alasan hukum dan fakta yang menjadi landasan gugatan.Artinya, posita berisi cerita kronologis dan alasan mengapa penggugat merasa dirugikan atau haknya dilanggar oleh tergugat.

Lalu muncul si petitum, saudara kembar posita yang lebih ambisius. Kalau posita itu bagian curhat, petitum adalah daftar belanja keadilan—isi permintaan resmi ke hakim. Misalnya: minta tergugat bayar ganti rugi, ngembalikan tanah, atau sekadar minta pengakuan cinta hukum. Dalam teori hukum, hubungan posita dan petitum disebut harus relevan dan seimbang—kalau curhatnya tentang sandal hilang, ya jangan minta ganti kapal pesiar. Seperti kata Prof Sudikno Mertokusumo, Gugatan harus berisi dasar hukum dan tuntutan yang saling berhubungan logis.
Petitum (Tuntutan atau Permohonan Hukum) adalah isi tuntutan atau apa yang diminta penggugat kepada hakim agar diputuskan dalam putusan pengadilan

Menurut asas hukum kepastian (rechtssicherheit), setiap gugatan harus jelas: siapa menggugat siapa, atas dasar apa, dan apa yang diminta. Tanpa itu, pengadilan bisa berubah jadi tempat tebak-tebakan. Bayangin hakim sampai geleng-geleng karena gugatan bunyinya cuma Saya merasa tidak nyaman. Lah, itu curhat, bukan gugatan! Dalam praktik, banyak gugatan ditolak hanya karena posita dan petitumnya LDR—nggak nyambung satu sama lain. Jadi, jangan sampai gugatanmu kayak sinetron: banyak dramanya, tapi nggak jelas ending-nya.
Dasar Hukum Posita dan Petitum
1. Pasal 8 ayat (3) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) / Pasal 118 HIR
→ Mengatur bahwa gugatan diajukan secara tertulis yang berisi identitas para pihak, posita, dan petitum.
2. Pasal 8 ayat (3) RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura)
→ Substansi sama dengan HIR, yaitu gugatan harus menjelaskan fakta dan permintaan (tuntutan).
3. Pasal 123 HIRPasal 142 RBg
→ Mengatur bahwa penggugat harus menyebutkan secara jelas dasar hak dan tuntutannya, ini merujuk pada posita dan petitum.
4.Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 26 K/Sip/1973
→ Menegaskan bahwa ketidaksesuaian antara posita dan petitum dapat mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Teori hukum Hans Kelsen bilang, hukum itu sistem norma yang bertingkat, dari norma dasar sampai putusan hakim. Nah, dalam gugatan, posita dan petitum itu kayak dua anak tangga menuju keadilan. Kalau satu licin, siap-siap jatuh ke jurang Niet Ontvankelijk Verklaard—alias gugatanmu ditolak tanpa diperiksa. Makanya, advokat cerdas biasanya menulis posita dengan gaya Sherlock Holmes, logis, runut, tapi tetap tajam. Hakim suka yang jelas, bukan yang puitis. Jangan sampai posita-mu malah bikin hakim berpikir kamu calon penulis novel, bukan penggugat.

Menurut azas audi et alteram partem, setiap pihak berhak didengar. Tapi supaya didengar, kamu harus bicara dengan logika, bukan emosi. Dalam hukum, posita adalah versi logis dari cerita versimu, dan petitum adalah permintaan yang bisa diukur. Kalau posita-nya bilang kamu ditipu, petitumnya harus minta pengembalian uang, bukan minta maaf tiga kali di depan balai kota. Kata Prof. Satjipto Rahardjo, hukum bukan cuma teks di atas kertas, tapi alat untuk menata perilaku manusia agar tidak saling menjegal dengan sopan.

Coba bayangkan hakim sebagai chef keadilan. Ia butuh resep yang lengkap: bahan-bahan (fakta), bumbu (alasan hukum), dan piring saji (petitum). Kalau posita-mu setengah matang, putusan bisa hambar. Makanya, para ahli hukum sering menekankan teori relevansi yuridis, bahwa setiap permintaan (petitum) harus bersumber langsung dari fakta hukum yang sah (posita). Kalau tidak, ya kayak pesanan makanan yang salah meja: penggugat lapar keadilan, tapi hakim malah menyajikan penolakan dingin.

Lucunya, banyak orang yang menggugat tanpa sadar posita dan petitumnya “ketuker”. Posita malah isinya permintaan, sementara petitum malah bercerita panjang lebar. Hakim yang baca bisa tepuk jidat. Itulah kenapa azas kepastian hukum bukan cuma formalitas, tapi penjaga logika hukum. Karena, seperti kata Mahkamah Agung dalam Putusan No. 26 K/Sip/1973, “Ketidaksesuaian antara posita dan petitum menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.” Sederhananya, kalau gugatanmu nggak nyambung, pengadilan akan berkata, “Silakan coba lagi, tapi kali ini pakai akal sehat, ya.”

Di dunia hukum, posita dan petitum bukan sekadar istilah latin yang keren, tapi duet maut yang menentukan nasib perkara. Dalam teori perikatan hukum, keduanya mencerminkan hubungan sebab-akibat: posita sebagai causa, dan petitum sebagai effectus. Tanpa posita, petitum hanyalah keinginan kosong. Tanpa petitum, posita cuma curhat tanpa arah. Jadi, bikin gugatan itu seperti bikin lagu: harus ada lirik (posita) dan reff yang nendang (petitum). Kalau dua-duanya harmonis, hakim bisa ikut “bernyanyi” dengan putusan yang adil.

Pada akhirnya, posita dan petitum mengajarkan satu filosofi penting dalam hidup dan hukum: jangan minta sesuatu tanpa dasar yang jelas. Sama seperti cinta, hukum butuh logika. Azas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan (Gustav Radbruch) berjalan kalau fakta dan permintaan selaras. Jadi, kalau kamu mau menuntut hak, pastikan posita dan petitummu rapi—bukan cuma karena hakim membacanya, tapi karena di baliknya ada nilai moral: “keadilan bukan turun dari langit, tapi ditulis dengan logika dan nurani yang jujur.

Posita adalah uraian mengenai dasar hukum dan fakta yang mendasari gugatan. Ia menyebutnya sebagai cerita hukum yang menjelaskan mengapa seseorang menggugat. Sedangkan Petitum adalah apa yang diminta atau dituntut oleh penggugat kepada hakim. Dengan kata lain, posita adalah alasannya, petitum adalah permintaannya. – Prof. Subekti, S.H

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *