Batu, JadiKabar.Com – Dua puluh empat tahun sudah Kota Batu berdiri sebagai daerah otonom. Sebuah perjalanan yang tak hanya mencatat pembangunan fisik, tapi juga dinamika sosial, politik, dan budaya. Dalam momentum menuju seperempat abad ini, Kelompok Kerja (Pokja) Peningkatan Status Kota Batu menggelar sarasehan reflektif bertajuk “Refleksi Menuju Seperempat Abad Kota Batu Sebagai Daerah Otonom” di Graha Pancasila, Balai Kota Among Tani, Selasa (14/10).
Acara ini menjadi ruang perenungan atas perjalanan panjang Kota Batu, dari daerah administratif Kabupaten Malang hingga menjadi kota mandiri pada 17 Oktober 2001, setelah perjuangan panjang masyarakat dan tokoh-tokoh setempat memperjuangkan status otonomi.
Ketua Panitia, Drs. Sumiantoro, membuka acara dengan menegaskan pentingnya sarasehan ini sebagai momen refleksi sejarah dan tanggung jawab moral.
“Pokja harus tetap menjaga watak kritisnya. Saat memperjuangkan peningkatan status dulu, kami ditanya, apakah siap bertanggung jawab? Kami jawab siap. Dan tanggung jawab itu belum selesai,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Sarasehan menghadirkan sejumlah tokoh penting, di antaranya Prof. Dr. Hariyono, Rektor Universitas Negeri Malang, Dr. Slamet Hendro Kusumo, Ketua Advokasi Pokja, dan Dr. Slamet Muchsin, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UNISMA, yang bertindak sebagai moderator.
Ketua Presidium Pokja, Andrek Prana, mengapresiasi para pemimpin Kota Batu dari masa ke masa, mulai Imam Kabul hingga Aries Agung Paewai, namun juga mengingatkan tentang arah pembangunan yang kian kehilangan ruh awalnya.
“Kota Batu kini seperti kehilangan kompas. Padahal sejak awal kami membawa konsep sederhana tapi kuat, Batu Kota Bernuansa Desa. Itu bukan slogan, tapi identitas. Konsep itu melindungi alam, budaya, dan kehidupan desa yang jadi napas kota ini,” tegasnya.
Andrek menambahkan, Pokja akan melakukan reorganisasi dengan melibatkan generasi muda agar semangat pendirian kota terus hidup lintas zaman.
Sebagai bentuk dukungan terhadap pelayanan publik, Polres Kota Batu memberikan hadiah istimewa yaitu Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) di tingkat kecamatan, yang akan diresmikan sehari setelah sarasehan. Kapolres menyebutnya sebagai “kado kecil untuk ulang tahun ke-24 Kota Batu.”
Dalam sambutannya, Wali Kota Batu Nurochman menekankan pentingnya menjaga jati diri kota.
“Fondasi Kota Batu sudah diletakkan para pendahulu dengan semangat ‘Kota Bernuansa Desa’. Tugas kita sekarang adalah memastikan akar itu tetap hidup meski pohonnya tumbuh makin tinggi,” ucapnya.
Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berinovasi tanpa meninggalkan akar kultural.
“Bangun Batu dengan karakter kita sendiri. Endorse Kota Batu dengan cara apa pun, dari tutur, media sosial, hingga tindakan nyata. Kolaborasi adalah kunci,” tandasnya.
Kota Batu dulunya dikenal sebagai wilayah agraris dan destinasi wisata pegunungan sejak zaman kolonial Belanda. Statusnya sebagai kota administratif di bawah Kabupaten Malang berakhir pada tahun 2001 setelah melalui perjuangan panjang masyarakat dan Pokja yang dibentuk sejak 1999. Semangat kemandirian itu dirangkum dalam filosofi “Batu Kota Bernuansa Desa”, sebuah visi pembangunan yang berpijak pada harmoni alam, budaya, dan gotong royong.
Kini, dua dekade kemudian, sarasehan ini bukan hanya peringatan sejarah, tapi juga pengingat: arah pembangunan yang sejati selalu bermula dari akar yang dikenal.












