Surabaya, JADIKABAR.COM – Stadion Gelora 10 Nopember, Tambaksari, riuh dengan sorak anak-anak, peluit wasit, dan semangat ribuan penonton. Final Piala Presiden 2025 untuk kelompok usia U-12 dan U-15 bukan hanya menobatkan juara baru, tapi juga mengukir babak lain perjalanan Surabaya sebagai kota olahraga, kamis (2/10).
Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Erick Thohir, yang hadir langsung di tribun kehormatan bersama Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, tak segan melayangkan apresiasi. Baginya, keberhasilan Surabaya menjadi tuan rumah adalah bukti bahwa kerja sama lintas pihak bisa melahirkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar sebuah turnamen.
“Sepak bola ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini tentang membentuk karakter, mengajarkan empati, dan menanamkan keberanian untuk bermimpi. Saya terima kasih pada semua pihak, terutama Pak Wali Kota Eri Cahyadi, yang tidak hanya hadir tapi benar-benar hidup di sepak bola,” ujar Erick usai laga final.
Menpora menekankan, kemenangan sejati ada pada cara generasi muda menghormati lawan setelah peluit panjang dibunyikan. “Kita ingin anak-anak ini tidak cepat puas, tidak cepat besar kepala. Persaingan memang keras, tapi mereka harus menjaga stabilitas mental. Karena dari sinilah lahir calon pemain tim nasional masa depan,” katanya.
Pesan ini disambut langsung oleh para pemain muda yang sejak awal turnamen memperlihatkan semangat sportivitas tinggi. Untuk kategori U-12, Garuda FC asal Surabaya berhasil mencatatkan nama sebagai kampiun.
Hidayat Syah, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Surabaya, menambahkan, keberhasilan Piala Presiden 2025 tak hanya soal prestasi lapangan hijau. Ada efek domino yang mengalir ke sektor pariwisata.
“Bayangkan, 34 klub dari seluruh Indonesia hadir. Mereka tidak datang sendiri, banyak yang membawa keluarga. Hotel-hotel penuh, destinasi wisata kita ramai. Surabaya memang layak jadi panggung event nasional dan internasional,” ungkapnya.
Bagi Surabaya, gelaran ini lebih dari sekadar pesta olahraga. Ia adalah laboratorium karakter, tempat anak-anak belajar arti jatuh, bangkit, bekerja sama, dan menghargai lawan.
Menpora Erick menutup dengan pesan sederhana tapi tajam: “Jangan pernah berhenti bermimpi. Indonesia butuh generasi yang berani, gigih, dan punya empati. Dari lapangan-lapangan kecil inilah masa depan sepak bola kita dimulai.”