Mimpi Rumah UMR , bergaji UMR.

Mimpi Rumah UMR , bergaji UMR.

Di negeri ini, punya rumah itu mirip punya otot perut six-pack: semua orang ingin, sedikit yang punya, dan yang berhasil biasanya dua tipe  keturunan konglomerat atau alumni kursus financial survival level (tingkat kelangsungan finansial ) tingkat dewa. Sementara rakyat jelata bergaji UMR hanya bisa menatap brosur perumahan dengan tatapan penuh harapan bercampur keringat ekonomis. Harga rumah sudah ratusan juta, tapi gaji naiknya seperti keong kecap cap galau maksimal. Teman-teman satu tongkrongan mulai menyusun rencana: Kalau kita patungan beli tanah, nanti bisa bangun rumah bersama. Iya, mirip sistem Avengers, cuma budget-nya versi Warung Avengers yang stoknya cuma mie instan dan kerupuk. Bapak Ir. Soekarno pernah bilang, Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu membangun dirinya, tapi zaman sekarang terasa seperti, Bangsa yang besar adalah bangsa yang sabar menunggu gaji naik sambil menabung receh di dompet digital.

Sebenarnya masyarakat kita sudah sangat kreatif dalam hal urusan tempat tinggal. Ada yang tinggal di kos ukuran 3×3 tapi merasa seperti apartemen mewah karena ada jendela meskipun jendelanya menghadap tembok kos sebelah. Ada juga yang menikah tapi tetap tinggal di rumah mertua, supaya hemat. Katanya sih sambil bantu orang tua, padahal sambil menunda cicilan KPR dan menunda drama angka bunga kredit. Di pesan grup WhatsApp keluarga, selalu ada paman yang bijak berkomentar, Dulu beli rumah gampang, tinggal kerja saja, pasti dapat. Padahal dulu harga tanah belum bersaing sama harga skincare Korea. Ekonom Emil Salim pernah mengingatkan, Kesejahteraan masyarakat itu fondasi kemajuan bangsa, tapi di lapangan, kesejahteraan itu kadang kalah sama biaya bensin, beras, dan cicilan HP yang kameranya canggih tapi isinya screenshot promo rumah syariah.

Kenapa sih rumah makin sulit dibeli? Karena tanah makin langka, pembangunan makin komersial, dan para investor properti makin jago ngegas sebelum rakyat biasa sempat bilang, Boleh lihat brosurnya? Iklan properti juga makin kreatif: Hunian eksklusif dekat pusat kota. Padahal pusat kotanya dihitung dari google maps radius 50 km dan lokasi perumahannya lebih dekat ke suara jangkrik daripada lampu merah. Bunga cicilan bank? Aduh, itu bukan bunga lagi, tapi duri mawar yang tajam menusuk finansial sampai dada ikut sesak seperti salah makan cilok. Di seminar pengembangan diri, motivator selalu bilang, Mimpi itu harus besar! Tapi begitu ditanya, Bagaimana mimpi punya rumah?, jawabannya biasanya berubah jadi, Yaa.. nabung, kerja keras, dan tawakal. Sementara warganya menepuk dompet sambil berkata, Saya sudah tawakal dari 2017, Ketua.

Pemerintah tentu punya peran besar. Ada FLPP ( dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah ), subsidi KPR (Kredit pemilikan rumah ), Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat ), dan jargon-jargon manis seperti Perumahan untuk rakyat. Keren sekali kan? Cuma kadang rakyat bingung: kalau ini untuk rakyat, kenapa rakyat harus daftar dulu, verifikasi dulu, sabar dulu, dan ujungnya nunggu kuota habis dulu? Tapi ya tidak bisa disalahkan juga  mengurus manusia sebanyak ini memang kayak mengatur barisan anak TK saat upacara bendera. Ekonom kerakyatan Sri-Edi Swasono pernah bilang, Pembangunan harus berpihak kepada rakyat kecil. Kalimat ini mulia, seperti doa orang tua sebelum anak ujian. Tapi di lapangan, rakyat kecil sering justru jadi juara dalam lomba sabar: sabar menunggu rumah subsidi, sabar melihat iklan properti yang bilang Harga mulai 400 juta  cicilan hanya 4 juta! Sabar juga melihat saldo rekening yang bilang, Cicil apa? Nasi Padang dulu saja.

Apakah ada solusi? Tentu ada  walaupun rasanya seperti resep panjang untuk memasak kehidupan rasa rendang tapi budget-nya mie instan. Individu bisa tambah side job: jualan online, jadi freelancer, buka jasa titip, sampai jadi komentator profesional di TikTok. Bisa juga menabung rutin, meskipun definisi tabungan kadang jadi saldo e-wallet nggak jadi dipakai buat kopi karena hujan jadi mager. Bisa juga mulai melihat rumah pinggir kota  jauh sedikit, tapi ada udara segar dan tetangga yang baik (karena masih jarang). Tapi ingat, jauh dari kota artinya dekat dengan drama transportasi dan relationship long distance dengan kantor. Kalau kantor mau hybrid sih enak; kalau bos Anda model dinosaurus yang masih percaya absen sidik jari = produktivitas, ya siap-siap bangun jam 4 pagi.

Bagaimana solusi dari negara? Perlu kebijakan tegas: batasi spekulan, tambah tanah untuk rumah rakyat, permudah KPR, turunkan bunga, dan pastikan transportasi publik nyambung sampai wilayah satelit. Kita butuh kota yang tumbuh seperti Singapura atau Seoul, bukan seperti Kota-kota kecil yang tumbuh acak seperti mie instan direbus malas-malasan. Pendidikan finansial ( Keuangan ) juga penting, supaya generasi muda tahu bedanya cicilan aset dan cicilan gengsi. Karena jujur saja, banyak yang pamer iPhone terbaru di kafe, tapi pulangnya masih numpang WiFi Indihome tetangga. Kalau negara bisa serius membangun rumah untuk rakyat, tagline kita bisa berubah dari Indonesia Maju jadi Indonesia Punya Rumah Sendiri Tanpa Drama KPR 30 Tahun.

Akhirnya, membeli rumah bagi bergaji UMR bukan sekadar soal uang, tapi soal kesabaran, strategi, dan sedikit humor untuk menjaga kewarasan. Karena kalau dipikir terlalu serius, kepala bisa panas dan dompet ikut demam tinggi. Santai saja, sambil tetap gas dalam ikhtiar. Toh hidup juga penuh plot twist  siapa tahu tahun depan ekonomi membaik, gaji naik, dan tiba-tiba punya rezeki untuk DP rumah tanpa harus ikut Tantangan makan mi instan tiga tahun berturut-turut. Pada akhirnya, seperti kata Muhammad Hatta, Tujuan kemerdekaan adalah kesejahteraan rakyat. Jadi jika suatu hari rakyat bisa punya rumah layak tanpa harus menjual ginjal, barulah kemerdekaan ekonomi terasa lengkap. Untuk saat ini? Tetap semangat dan jangan lupa, kalau brosur rumah datang lagi, baca saja dulu… lalu tarik napas panjang. Itu gratis. Ha ha ha ….podas ambia ..

Rumah adalah hak rakyat. Pasar tak boleh menguasai sepenuhnya urusan papan. Negara harus masuk, mengatur, hadir melindungi. – Sri-Edi Swasono

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *