Pulih Lebih Tangguh : Pasca Bencana Alam Sumbagut November 2025

Avatar photo

Negara kita, dengan kondisi geografis yang rentan pegunungan, dataran tinggi, sungai, dan laut memang punya peluang tinggi terkena bencana alam. Ketika hujan turun terus menerus di wilayah BMKG menunjukkan bahwa cuaca ekstrem kali ini dipicu oleh dua sistem siklon: Siklon Tropis Senyar (Bibit Siklon 95B) dan Siklon Tropis Koto, yang membawa hujan lebat, angin kencang, sehingga memicu banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Dalam UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana — telah dijelaskan bahwa penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat dan daerah. UU ini mengatur tiga fase: sebelum bencana (pencegahan), saat tanggap darurat, dan pasca bencana (rehabilitasi & rekonstruksi).

Kini, ketika cuaca mulai cerah dan situasi darurat sebagian mereda, sudah tiba saatnya memasuki fase pasca bencana: bukan hanya mengevakuasi korban, tapi juga memikirkan bagaimana memulihkan kehidupan — rumah, jalan, sanitasi, sekolah — agar masyarakat bisa kembali beraktivitas. Prinsip inilah yang dimandatkan UU 24/2007: rehabilitasi sarana & prasarana, pemulihan sosial psikologis, pemenuhan layanan dasar seperti kesehatan dan kebersihan, serta pemulihan pemerintahan dan pelayanan publik.

Namun tugas itu tidak bisa sepenuhnya hanya di tangan pemerintah. Masyarakat pun punya peran penting — menjaga lingkungan, membersihkan sisa lumpur & puing, membuka saluran air, dan saling membantu tetangga terdampak. Karena dalam UU juga disebut bahwa penanggulangan bencana harus dilakukan secara “terpadu, terkoordinasi, menyeluruh, dan melibatkan masyarakat”.

Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dibantu BMKG dan otoritas daerah, telah mengambil langkah konkret. Terbaru, BNPB menyatakan telah memulai Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di Aceh, Sumut, dan Sumbar — sebagai upaya mitigasi, yaitu mengalihkan awan hujan agar intensitas curah hujan di zona rawan bencana dapat dikurangi.

Langkah ini menunjukkan bahwa penanganan bencana di Indonesia kini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga — dalam kondisi tertentu — menggunakan intervensi ilmiah untuk mengurangi risiko di masa mendatang. Tapi itu bukan jaminan penuh: cuaca ekstrem bisa datang lagi, dan faktor lingkungan serta tata ruang tetap perlu dijaga. Oleh sebab itu, rekonstruksi pasca bencana bukan sekadar memperbaiki fisik, tapi juga merancang ulang sistem — drainase, penataan pemukiman, reboisasi, hingga edukasi kesiapsiagaan masyarakat.

Akhirnya, agar tragedi serupa bisa diminimalkan di waktu mendatang, kita perlu sinergi antara hukum (UU 24/2007), sains (BMKG), kebijakan & tindakan pemerintah (BNPB + OMC + rehabilitasi), serta partisipasi aktif masyarakat. Hanya dengan kebersamaan — gotong royong, transparansi, dan keberlanjutan — kita bisa menata ulang kehidupan pasca bencana dengan lebih tangguh, dan memberi harapan bahwa negeri ini bisa bangkit — sekaligus lebih siap menghadapi ketidakpastian alam.

Kini, dengan hujan mereda dan cuaca dinilai membaik, pihak berwenang mulai memasuki tahap rekondisi: evakuasi korban, distribusi bantuan logistik, perbaikan jalan dan fasilitas umum. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama kementerian terkait telah mengirimkan tenda, perahu karet, genset, alat komunikasi, serta tim medis dan logistik ke wilayah terdampak. “Semua jenis bantuan ini dikirim agar akses dan kebutuhan dasar warga segera terlayani,” ujar seorang pejabat pada peluncuran bantuan.

Akhirnya, tragedi ini mengingatkan kita bahwa alam bisa tak terkira — dan kadang datang bertubi-tubi. Tapi dengan hukum yang jelas, respons cepat dari pemerintah, serta kesadaran kolektif kita punya peluang untuk bangkit bersama, pulih lebih tangguh, dan siap jika bencana kembali datang. Dalam solidaritas dan tanggung jawab bersama itulah, harapan bisa terus menyala.

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *