Malang, JADIKABAR.COM – Ketenangan di Desa Putukrejo, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, kini diselimuti ketegangan. Sekelompok warga Desa Putukrejo tampak berjaga di sekitar Sumber Wadon, mata air yang menjadi urat nadi kehidupan mereka. Aksi ini bukan tanpa alasan, melainkan bentuk penolakan tegas terhadap proyek pemasangan pipa raksasa Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Sumber Wadon yang digagas oleh Perumda Tirta Kanjuruhan.
Bagi warga setempat, Sumber Wadon bukan sekadar tempat mengambil air. Ia adalah jantung pertanian dan sumber air minum yang telah mereka kelola secara mandiri selama puluhan tahun melalui sistem Hipam di bawah naungan Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (BPSAB) “Sumber Sirah”.
“Air ini sudah jadi bagian hidup kami sejak dulu,” ujar Nur Baron, salah satu perwakilan warga yang ikut berjaga, Sabtu (4/10/2025). “Kami tidak ingin melihatnya hilang hanya karena proyek.”
Keresahan warga Putukrejo memuncak lantaran menilai proyek jaringan pipa Perumda dilakukan tanpa transparansi dan persetujuan dari masyarakat sekitar. Mereka menuding Perumda tidak pernah berkoordinasi langsung dengan warga sebelum memulai langkah pembangunan.
“Dari dulu kami menolak, karena PDAM tidak pernah datang bicara langsung. Sekarang tiba-tiba mau bangun saluran baru di sumber kami,” kata Baron.
Kekhawatiran utama warga adalah potensi penurunan drastis debit air. Mereka mencemaskan, jika Perumda menggunakan teknologi penyedotan modern untuk melayani pelanggan yang semakin bertambah, air yang tersisa untuk lahan pertanian dan rumah tangga di hilir akan habis.
“Kalau PDAM ini pakai alat canggih, airnya bisa disedot sesuai kebutuhan pelanggan. Otomatis sawah-sawah kami yang di bawah akan kering,” jelas Baron. Air dari Sumber Wadon dan Sumber Sirah merupakan tumpuan bagi suburnya padi, sayuran, dan palawija di kawasan Gondanglegi.
Abdur Rosyid, Ketua BPSAB Sumber Sirah, menegaskan bahwa hingga kini belum ada komunikasi kelembagaan yang terjalin antara Perumda Tirta Kanjuruhan dan pengelola air di tingkat masyarakat.
“Belum ada sosialisasi ke warga, belum ada komunikasi kelembagaan. Pernah memang ada rapat di kecamatan, tapi itu hanya menghadirkan perwakilan desa, tidak sampai ke warga,” tutur Rosyid.
Kekecewaan warga semakin mendalam karena menilai pemerintah desa setempat tidak bersikap tegas dalam menanggapi keresahan ini. Menurut mereka, izin pertama seharusnya berasal dari desa, namun sosialisasi yang diadakan justru memicu kemarahan karena dianggap tidak transparan dan hanya dihadiri segelintir orang.
Rosyid menambahkan, masyarakat pada dasarnya tidak menolak pembangunan, asalkan dilakukan dengan terbuka dan menghormati tata kelola air yang sudah berjalan puluhan tahun. “Silakan saja membangun, tapi harus terbuka. Jelaskan apa manfaatnya, apa risikonya, dan bagaimana dampaknya terhadap sumber air yang sudah ada,” tegasnya.
Warga juga menyoroti ironi di balik rencana proyek baru ini. Di sekitar Sumber Wadon, masih berdiri bangunan tua peninggalan PDAM era 1980-an yang kini terbengkalai. Rosyid menjelaskan, fasilitas itu ditinggalkan karena debit air yang kala itu tidak mencukupi.
Pengalaman pahit itulah yang mendorong warga membentuk sistem pengelolaan air mandiri, atau Hipam, yang kini justru terancam oleh proyek baru. Bagi masyarakat Putukrejo, menjaga Sumber Wadon adalah upaya mempertahankan hak hidup, kemandirian, dan warisan untuk generasi mendatang.
“Kami tidak anti pembangunan,” tutup Nur Baron. “Tapi kalau pembangunan itu justru membuat kami kehilangan sumber air, bagaimana kami bisa hidup?”
Penolakan warga ini kini menjadikan Sumber Wadon tak lagi sekadar mata air, melainkan simbol perjuangan rakyat kecil dalam menjaga hak dasar atas air bersih di tengah arus pembangunan.