97 tahun Sumpah Pemuda, Ketika Bahasa Indonesia masih di Anak Tirikan.

JadiKabar.com – Konon, pada 28 Oktober 1928, sekelompok anak muda berdiri di sebuah ruangan kecil di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Mereka tidak sedang meeting weekly ( pertemuan mingguan ), tidak membahas project timeline ( ukuran dalam sistem kerja yang sesuai dengan rencana ), apalagi menyiapkan pitch deck ( pemaparan tentang kegiatan bisnis secara menyelurugh ) untuk investor. Mereka hanya membawa satu hal: tekad. Lalu mereka bersumpah dengan tiga ikrar sederhana yang sampai kini jadi fondasi negeri ini. Salah satunya, yang paling lembut namun paling sakral: Kami menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tapi siapa sangka, hampir seabad kemudian, sumpah itu sedang diuji oleh Google Translate ( terjemahan bahasa oleh Goggle ) dan Microsoft Teams ( Team Microsoft ). Kini, di kantor-kantor berpendingin ruangan, sumpah itu terdengar samar di antara suara Good morning team! ( selamat pagi Kelompok kerja ) , Let’s align goals! ( Ayoo satukan tujuan ) dan Kindly update me ASAP! ( secepatnya beritahukan ! ). Bahasa Indonesia mulai merasa seperti tamu dalam rumahnya sendiri. Ia berdiri di pojok ruang rapat sambil memeluk KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ), menatap sedih ke arah PowerPoint slide ( Tampilan Halaman ) yang seluruhnya berbahasa Inggris.

Mungkin para pemuda 1928 akan terkejut jika mereka hadir di ruang rapat zaman sekarang. Bayangkan Soegondo Djojopoespito berkata, Mari kita mulai rapat dengan doa, tapi lalu disela rekan sebelahnya, Wait bro ( tunggu saudaraku ), kita tunggu CEO ( chief-executive-officer = pimpinan perusahaan ) masih on the way ( dalam perjalanan ). Bahkan Mohammad Yamin yang menggagas Bahasa Indonesia mungkin akan geleng-geleng melihat laporan kerja bertajuk Quarterly Achievement Report ( Laporan Pencapaian Triwulan ) yang isinya tentang gotong royong divisi marketing ( Bagian Pemasaran ).

Kita, generasi modern, memang aneh. Di satu sisi bangga jadi anak bangsa, di sisi lain merasa lebih profesional kalau menulis collaboration ketimbang kerja sama. Padahal maknanya sama bedanya hanya di rasa percaya diri. Seolah-olah ide kita baru terdengar penting kalau ditaburi sedikit aksen London atau Manhattan.

Tentu saja, bahasa Inggris penting. Dunia sudah global, dan kemampuan berbahasa asing membuka peluang. Tapi di balik semua itu, ada bahaya kecil yang tak terasa: kita mulai kehilangan rasa memiliki terhadap bahasa sendiri. Kita lupa bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga wadah berpikir, identitas, bahkan jiwa bangsa. Soekarno pernah berkata,
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati bahasa dan kebudayaannya sendiri.”

Tapi kini, penghormatan itu sering diganti dengan acknowledgement letter ( Surat Pengakuan ).
Lucunya, banyak kantor di Indonesia yang semua karyawannya orang Indonesia, tapi email internal (pesan elektonik yang ditujukan kepada karyawan di dalam organisasi )-nya pakai bahasa Inggris. Mungkin biar terlihat internasional. Tapi ketika komputer hang, doa yang keluar tetap bahasa asli: Ya Tuhan, jangan sekarang dong crash( kondisi komputer tidak berfungsi ) -nya! Ironi ini sebetulnya menggemaskan, kita menolak lupa terhadap sejarah, tapi malah pelan-pelan mengganti suaranya dengan accent ( logat ) baru.

Sumpah Pemuda tidak pernah menyuruh kita menolak bahasa lain. Tapi ia mengingatkan agar kita punya rumah, sebelum berjalan ke luar negeri. Karena kalau rumah bahasamu sudah sepi, kamu bisa kehilangan tempat berpijak di dunia mana pun. Bahasa Indonesia adalah wajah kita, kadang malu-malu, kadang kocak, tapi selalu jujur dan hangat.

Mungkin, di Sumpah Pemuda ke-97 tahun ini, sudah waktunya kita buat versi pembaruan.

“Kami, pemuda 2025, bersumpah tetap menjunjung bahasa Indonesia, meskipun autocorrect ( koreksi otomatis ) berusaha menggantinya dengan bahasa Inggris.”

Dan jika suatu hari kamu ditanya, Why do you love Indonesia? ( Mengapa kamu mencintai Indonesia )
Jawablah dengan bangga:
Because this is the only land where ‘ngopi dulu biar waras’ makes perfect sense. (Karena di tanah inilah adalah satu-satunya negeri di mana ‘ngopi dulu biar waras’ masuk akal sepenuhnya )

Di negeri yang konon menjunjung bahasa persatuan, kini banyak rapat diadakan dengan pembuka, Good morning, team,( selamat pagi kelompok ) dan ditutup dengan, Let’s catch up next week,( kita akan ketemu minggu depan ) sementara bahasa Indonesia hanya kebagian tugas jadi penerjemah batin di kepala karyawan. Di ruang rapat Jakarta sampai Medan, slide presentation ( penyampaian gagasan dalam bentuk gambar ) berseragam bahasa Inggris, padahal audiens ( kelompok orang yang berpartisipasi dalam satu kegiatan ) -nya semua lulusan SD di Indonesia. Bahasa Indonesia pun duduk di pojok ruangan, menatap whiteboard ( papan tulis putih ) penuh istilah asing sambil bergumam lirih, Katanya aku bahasa persatuan, kok jadi anak tiri di negeri sendiri? Lucunya, di tengah gempuran jargon corporate ( perusahaan besar ) itu, kata terima kasih masih jadi penyelamat suasana paling tulus. Soekarno dulu berkata, Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati bahasa dan kebudayaannya sendiri. Maka semoga kelak, di masa depan yang penuh deadline ( batas akhir ) dan target ( Suatu hal yang ingin di raih ), perusahaan-perusahaan Indonesia kembali sadar: profesional itu bukan berarti berbahasa asing, tapi berjiwa nasional. Karena tak ada bahasa yang lebih indah untuk menyapa rekan kerja selain, Selamat pagi, semangat, dan jangan lupa bahagia tanpa harus diterjemahkan dulu ke Inggris.

Bahasa bukan sekadar alat untuk berkata, tapi cermin untuk mengenal siapa kita. Saat lidah kita mulai malu berbahasa sendiri, di situlah jiwa kita pelan-pelan kehilangan arah pulang. – Raka Dirgantara.

Horas Hubanta Haganupan.
Horas …Horas … Horas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *