Like, Love and Lost : Saat Media Sosial menguji Cinta Raisa

Like, Love and Lost : Saat Media Sosial menguji Cinta Raisa
Foto Like, Love and Lost : Saat Media Sosial menguji Cinta Raisa

JadiKabar.Com – Di balik panggung gemerlap dan senyum selebritas, ada kehidupan rumah tangga yang tak kalah berdebu dari dapur emak-emak di kampung. Raisa dan Hamish, yang dulu disebut couple goals ( pasangan ideal ) sejagad maya, akhirnya mengajarkan satu hal penting: bahkan harmoni bisa retak saat lampu sorot terlalu panas. Publik maunya kisah cinta berseri, padahal kenyataannya kadang seperti sinetron yang kehabisan naskah. Tekanan ekspektasi, gosip yang tak tidur, dan sorotan yang tajam bisa jadi badai dalam rumah tangga yang tenang. Seperti pepatah Mandailing, Pariban do di ula, alai dang tarbius di mata ( Pariban itu ada di hadapan, tapi tak terlihat oleh mata ) — tampak serasi di luar, tapi siapa tahu di dalam banyak luka yang tak kasat mata. Begitulah, bahkan bintang pun butuh ruang untuk meredup, demi kembali bersinar dengan cara yang lebih manusiawi.

Perceraian Raisa dan Hamish bukan sekadar kabar duka selebritas, tapi kisah dua manusia yang berani memilih tenang ketimbang terus berpura-pura bahagia di atas panggung sorotan. Mereka tak berteriak, tak menuding, hanya berkata lembut bahwa keputusan itu lahir dari proses panjang, bukan amarah sesaat—sebuah kemewahan emosional yang bahkan pasangan biasa pun jarang punya. Di tengah dunia yang sibuk menghakimi, mereka memilih co-parenting ( pengasuhan bersama ), cara baru mencintai tanpa harus tinggal serumah. Inilah kedewasaan yang tak bisa dibeli dengan ketenaran. Sebagaimana pepatah Mandailing berkata, Anso ma holan rimos, tarlumobi do holso ( Karena hanya air yang tampak tenang, di dalamnya tersembunyi arus deras ) —lebih baik basah oleh hujan, daripada berkarat oleh diam. Mungkin Raisa dan Hamish tahu, cinta sejati kadang bukan tentang bertahan, tapi tentang tahu kapan harus memberi ruang agar yang tersisa tetap tumbuh dalam damai, meski dengan nama yang berbeda.

Dalam panggung kehidupan selebritas, anak sering kali jadi pemeran tambahan yang tak meminta sorotan, tapi terpaksa hidup di bawah lampu kamera yang tak pernah padam. Kasus Raisa dan Hamish jadi pengingat bahwa di balik gaun glamor dan senyum manis di red carpet, ada hati kecil yang butuh tenang dari riuh gosip dan komentar netizen yang lebih tajam dari pisau dapur. Mereka memilih menjaga privasi, bukan karena ingin misterius, tapi karena tahu anak butuh ruang tumbuh tanpa bayangan berita viral. Inilah bentuk cinta paling matang: melindungi, bukan memamerkan. Seperti pepatah Mandailing, Anak do hamoraon di au —( anak adalah kekayaan sejati ), bukan tontonan publik. Maka, bagi siapa pun yang bercerai, selebritas atau bukan, rahasia menjaga anak tetap bahagia bukan pada seberapa sering kita menjelaskan, tapi seberapa tulus kita mencintai tanpa perlu menjadikan luka sebagai konten.

Di tengah riuh kabar dan kejaran kamera, Raisa dan Hamish memilih langkah paling tenang yang bisa diambil dua orang dewasa: menjaga ruang agar anak mereka tetap bisa tertawa tanpa merasa hidupnya sedang jadi berita utama. Di dunia di mana gosip bisa lebih cepat dari Wi-Fi, keputusan mereka untuk menutup pintu rumah dari pandangan publik adalah bentuk kasih sayang yang paling modern. Anak bukan bintang sinetron, dan privasi bukan barang mewah—itulah pesan yang jarang dikatakan, tapi penting. Mereka seolah mengingatkan pepatah Mandailing, Anak do hamoraon di au, jaga ma roha na so tabo —(anak adalah harta, maka jagalah hatinya yang lembut ). Dari situ kita belajar, cinta orang tua tak berhenti di akta nikah; ia terus hidup dalam cara kita melindungi anak dari gemuruh dunia, bahkan saat rumah tangga berubah bentuk, tapi kasihnya tetap utuh.

Di era media sosial, rumah tangga selebritas seperti Raisa dan Hamish ibarat akuarium kaca di tengah mal—semua orang bisa lihat, bahkan saat ikan cuma diam. Begitu satu foto anniversary hilang, netizen langsung berubah jadi detektif dengan teori lebih cepat dari Wi-Fi. Padahal kadang yang hilang cuma sinyal, bukan cinta. Tapi begitulah, dunia digital tak mengenal privasi, hanya algoritma yang lapar perhatian. Rumah tangga artis pun jadi tontonan, bukan pelajaran. Seperti pepatah Mandailing berkata, Siruak ma di jolo, alai jaga ma parjoloanmu— ( boleh tampak di depan, tapi kendalikan apa yang ingin ditampilkan ). Karena di balik layar, cinta butuh ruang sunyi, bukan kolom komentar. Dan mungkin, kebahagiaan sejati justru tumbuh saat kamera sedang dimatikan.

Anak-anak dari pasangan yang berpisah, terutama selebritas, cenderung menghadapi tantangan tambahan: publikasi, gosip, opini publik, dan perubahan status keluarga yang sangat terlihat. – Judith Wallerstein

Horas Hubanta Haganupan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *